Minggu, 29 Januari 2012

Tujuan Pendidikan (Bagian 2)

Pendidikan massal yang bersifat memaksa sebagian besar digagas dan dianjurkan pada abad ke-19. Alasan yang diberikan untuk melegitimasi pergolakan besar dalam kehidupan keluarga dan tradisi budaya ini, paling tidak ada tiga: untuk mencetak orang-orang yang baik, untuk mencetak warga negara yang baik, dan untuk membuat setiap orang menjadi dirinya yang terbaik.
Tujuan ini masih sering digembar-gemborkan secara teratur, dan kebanyakan dari kita menerima mereka sebagai definisi yang layak dari misi pendidikan publik, walaupun sekolah pada kenyataannya telah gagal dalam mencapai tujuan-tujuan itu. Namun kita pun salah dalam menerima definisi tersebut. Coba kita lihat buku Alexander Inglis yang terbit pada tahun 1918, Prinsip-Prinsip Pendidikan Menengah. Di dalamnya, Inglis menjelaskan bahwa wajib belajar di AS itu dimaksudkan untuk menjadi pilar kelima gerakan demokrasi yang mengancam akan memberikan petani dan kaum proletar hak suara di meja perundingan. Industri  wajib belajar modern ditujukan untuk memecah potensi rakyat kelas bawah ini untuk bersatu. sayatan bedah menjadi calon kesatuan underclasses ini. Pecah anak-anak ke dalam kelompok-kelompok menurut subyek, menurut usia, dengan tes pemeringkatan terus-menerus dan dengan banyak cara lain yang lebih halus, maka kecil kemungkinannya bagi kaum tidak terdidik ini, yang telah dipecah-pecah sejak anak-anak, untuk bergabung menjadi satu kesatuan yang berbahaya.
Inglis menjabarkan tujuan sebenarnya dari pendidikan modern menjadi enam fungsi dasar, di mana setiap tujuan ini cukup menggejutkan kita yang terlalu naif mempercayai definisi tradisional dari tujuan sekolah massal yang sudah disebutkan di awal tadi:

1.                  Fungsi adjustive/adaptif.
Sekolah bertujuan untuk membangun kebiasaan reaksi yang konstan terhadap otoritas. Ini, tentu saja, akan menghalangi penilaian kritis. Hal ini juga menghancurkan gagasan bahwa materi yang berguna atau menarik harus diajarkan, karena Anda tidak dapat menguji kepatuhan refleksif sampai Anda tahu apakah Anda dapat membuat anak-anak belajar, dan melakukan, hal-hal yang bodoh dan membosankan.
2.                  Fungsi integratif.
Ini mungkin juga bisa disebut “fungsi keseragaman,” karena tujuannya adalah untuk membuat anak-anak seseragam mungkin. Orang-orang yang seragam dapat diprediksi, dan ini tentu sangat berguna bagi mereka yang ingin memanfaatkan dan memanipulasi massa tenaga kerja yang besar.
3.                  Fungsi diagnostik dan direktif.
Sekolah dimaksudkan untuk menentukan peran sosial yang layak bagi setiap siswa. Hal ini dilakukan dengan cara menanamkan catatan-catatan matematis secara kumulatif pada “rapor” siswa dan pada pikiran mereka.
4.                  Fungsi pembeda.
Setelah peran sosial mereka telah “didiagnosis,” anak-anak harus diurutkan berdasarkan peran dan dilatih hanya sejauh tujuan mereka dalam mesin sosial – tidak lebih jauh dari itu. Hal ini menyanggah bahwa tujuan sekolah adalah untuk membuat setiap siswa menjadi dirinya yang terbaik.
5.                  Fungsi selektif.
Hal ini merujuk bukan pada pilihan manusia tapi pada teori Darwin mengenai seleksi alam sebagaimana diterapkan pada apa yang ia sebut “ras favorit.” Singkatnya, idenya adalah untuk secara sadar berupaya untuk meningkatkan kualitas stok peternakan. Sekolah dimaksudkan untuk menandai mereka yang “tidak layak” hidup di masyarakat – dengan cara memberi nilai yang jelek, penempatan remedial dan hukuman lain – dengan sebegitu jelas sehinga teman-teman mereka akan menganggap mereka sebagai inferior dan secara efektif menghalangi mereka dari “undian” reproduksi. Itulah maksud dari semua penghinaan kecil yang diterima siswa dari kelas pertama dan seterusnya: yaitu untuk menyingkirkan “sampah” masyarakat.
6.                  Fungsi propaedeutic.
Sistem sosial yang ditunjukkan oleh aturan-aturan ini akan memerlukan suatu kelompok pengasuh yang elit. Untuk itu, sebagian kecil anak-anak secara diam-diam akan diajarkan bagaimana mengelola proyek yang berkelanjutan ini, bagaimana untuk mengawasi dan mengendalikan populasi yang sengaja dibodohkan dan dimandulkan sehingga pemerintah dapat melaju tanpa tandingan dan perusahaan selalu menerima tenaga kerja yang patuh.

Kekayaan besar bisa dicapai dalam suatu perekonomian yang didasarkan pada produksi massal dan terorganisir untuk mendukung perusahaan besar, bukan usaha kecil atau pertanian keluarga. Namun produksi massal membutuhkan konsumsi massal, dan pada pergantian abad ke-20 kebanyakan orang Amerika menganggap adalah tidak wajar dan tidak bijaksana untuk membeli sesuatu lebih dari yang mereka butuhkan. Pendidikan publik yang diwajibkan adalah alat yang tepat untuk mengubah paradigma masyarakat ini. Sekolah tidak perlu mengarahkan anak-anak untuk secara langsung berpikir bahwa mereka harus mengkonsumsi tanpa henti, karena sekolah telah melakukan sesuatu yang lebih efektif: mendorong siswa untuk tidak berpikir sama sekali. Sekolah membuat siswa duduk seperti bebek yang lumpuh dan siap menerima penemuan besar lainnya di era modern ini, yaitu: Pemasaran.
Anda tidak perlu mempelajari pemasaran untuk mengetahui bahwa ada dua kelompok orang yang selalu dapat diyakinkan untuk mengkonsumsi lebih dari yang mereka butuhkan, yaitu para pecandu dan anak-anak. Sekolah telah melakukan pekerjaan yang cukup efektif untuk mengubah anak-anak kita menjadi pecandu, dan sekolah pun telah melakukan pekerjaan yang lebih spektakuler dalam mengubah anak-anak kita untuk tetap menjadi anak-anak seumur hidupnya. Sekali lagi, ini bukan ketidaksengajaan. Para pemikir, mulai dari Plato sampai Rousseau dan Dr. Inglis, telah mengetahui bahwa jika anak-anak bisa dikungkung dengan anak-anak lain, dilucuti dari tanggung jawab dan kemandirian, didorong untuk mengembangkan emosi-emosi remeh seperti keserakahan, iri hati, kecemburuan dan ketakutan, maka mereka akan tumbuh lebih tua tetapi tidak akan pernah menjadi dewasa.
Kedewasaan sekarang telah dibuang dari hampir setiap aspek kehidupan kita. Kemudahan kredit telah menghilangkan tanggung jawab tentang pentingnya pengendalian diri dalam mengelola keuangan; kemudahan mendapatkan hiburan telah menghilangkan pentingnya belajar untuk menghibur diri sendiri; jawaban yang remeh telah menghapus kebutuhan untuk mengajukan pertanyaan. Kita telah menjadi bangsa kanak-kanak, yang dengan senang hati menyerahkan penilaian kita dan kehendak kita pada nasihat politik dan bujukan komersial yang pasti akan membuat orang dewasa sejati menjadi terhina. Kita membeli televisi, dan kemudian kita membeli hal-hal yang kita lihat pada televisi itu. Kita membeli sepatu kets yang sangat mahal, entah kita sedang membutuhkannya atau tidak, dan ketika mereka mulai aus kita terlalu cepat membeli sepasang lagi. Kita mengendarai kendaraan SUV dan mempercayai kebohongan bahwa mereka merupakan semacam asuransi jiwa (karena “aman”), bahkan ketika kita “jungkir balik” karenanya.
Sekarang kabar baiknya. Setelah Anda memahami logika di belakang sekolah modern, segala trik dan jebakannya sebenarnya cukup mudah untuk dihindari. Sekolah melatih anak-anak untuk menjadi karyawan dan konsumen; Ajarkan anak-anak Anda sendiri untuk menjadi pemimpin dan petualang. Sekolah melatih anak-anak untuk secara naluri menjadi patuh; ajarkan anak-anak Anda sendiri untuk berpikir kritis dan mandiri. Anak-anak yang dididik di sekolah memiliki ambang batas yang rendah dalam menghadapi kebosanan; bantu Anda sendiri untuk mengembangkan kehidupan batin dan pribadi yang benar-benar “hidup” sehingga mereka tidak akan pernah bosan. Dorong mereka untuk mengambil bahan-bahan serius atau materi “orang dewasa”, seperti sejarah, sastra, filsafat, musik, seni, ekonomi, teologi – yang biasanya dihindari oleh guru. Tantang anak-anak Anda dengan banyak kesendirian sehingga mereka belajar untuk menikmati diri mereka sendiri dan melakukan dialog batin. Orang-orang terdidik di sekolah dikondisikan untuk takut hidup sendirian, dan mencari persahabatan konstan melalui TV, komputer, telepon seluler, dan juga melalui persahabatan dangkal yang dengan cepat diperoleh dan dengan cepat pula ditinggalkan. Anak-anak Anda harus memiliki kehidupan yang lebih bermakna.
Namun, kita terlebih dahulu harus bangun dan memandang sekolah seperti apa mereka adanya, yaitu: laboratorium eksperimen untuk anak-anak muda, pusat latihan untuk kebiasaan dan sikap yang dituntut oleh korporasi. Pendidikan wajib hanya sesekali melayani anak-anak; tujuan sebenarnya adalah untuk mengubahnya menjadi pelayan. Jangan biarkan anak-anak Anda diperpanjang masa kecilnya, tidak bahkan untuk satu hari saja.
Entah apa yang anak-anak Anda sendiri dapat lakukan bila kita bebaskan potensinya. Setelah menghabiskan 30 tahun di dunia persekolahan, saya telah menyimpulkan bahwa kejeniusan sesungguhnya bertebaran di mana-mana. Kita menahan kejeniusan pada anak-anak kita hanya karena kita belum tahu bagaimana mengelola populasi manusia yang berpendidikan. Solusinya, saya pikir, begitu sederhana dan mulia. Biarkan mereka mengatur diri mereka sendiri.
Artikel di atas cukup memberikan gambaran kepada kita tentang tujuan pendidikan di Amerika yang tidak berbeda jauh dengan kenyataan yang terjadi di Indonesia. Sebagai sekolah yang mendidik manusia seharusnya sekolah tetap focus pada tujuan pendidikan yang benar yaitu memanusiakan manusia dan berusaha semaksimal mungkin melepaskan diri dari pengaruh situasi dan kondisi politik praktis yang berkembang. Sekolah adalah Agent of Change yaitu agen pengubah yang mengubah orang-orang menjadi bertanggung jawab dan mandiri, dan mengubah setiap orang menjadi dirinya yang terbaik.

Tujuan Pendidikan (Bagian 2)

Pendidikan massal yang bersifat memaksa sebagian besar digagas dan dianjurkan pada abad ke-19. Alasan yang diberikan untuk melegitimasi pergolakan besar dalam kehidupan keluarga dan tradisi budaya ini, paling tidak ada tiga: untuk mencetak orang-orang yang baik, untuk mencetak warga negara yang baik, dan untuk membuat setiap orang menjadi dirinya yang terbaik.
Tujuan ini masih sering digembar-gemborkan secara teratur, dan kebanyakan dari kita menerima mereka sebagai definisi yang layak dari misi pendidikan publik, walaupun sekolah pada kenyataannya telah gagal dalam mencapai tujuan-tujuan itu. Namun kita pun salah dalam menerima definisi tersebut. Coba kita lihat buku Alexander Inglis yang terbit pada tahun 1918, Prinsip-Prinsip Pendidikan Menengah. Di dalamnya, Inglis menjelaskan bahwa wajib belajar di AS itu dimaksudkan untuk menjadi pilar kelima gerakan demokrasi yang mengancam akan memberikan petani dan kaum proletar hak suara di meja perundingan. Industri  wajib belajar modern ditujukan untuk memecah potensi rakyat kelas bawah ini untuk bersatu. sayatan bedah menjadi calon kesatuan underclasses ini. Pecah anak-anak ke dalam kelompok-kelompok menurut subyek, menurut usia, dengan tes pemeringkatan terus-menerus dan dengan banyak cara lain yang lebih halus, maka kecil kemungkinannya bagi kaum tidak terdidik ini, yang telah dipecah-pecah sejak anak-anak, untuk bergabung menjadi satu kesatuan yang berbahaya.
Inglis menjabarkan tujuan sebenarnya dari pendidikan modern menjadi enam fungsi dasar, di mana setiap tujuan ini cukup menggejutkan kita yang terlalu naif mempercayai definisi tradisional dari tujuan sekolah massal yang sudah disebutkan di awal tadi:

1.                  Fungsi adjustive/adaptif.
Sekolah bertujuan untuk membangun kebiasaan reaksi yang konstan terhadap otoritas. Ini, tentu saja, akan menghalangi penilaian kritis. Hal ini juga menghancurkan gagasan bahwa materi yang berguna atau menarik harus diajarkan, karena Anda tidak dapat menguji kepatuhan refleksif sampai Anda tahu apakah Anda dapat membuat anak-anak belajar, dan melakukan, hal-hal yang bodoh dan membosankan.
2.                  Fungsi integratif.
Ini mungkin juga bisa disebut “fungsi keseragaman,” karena tujuannya adalah untuk membuat anak-anak seseragam mungkin. Orang-orang yang seragam dapat diprediksi, dan ini tentu sangat berguna bagi mereka yang ingin memanfaatkan dan memanipulasi massa tenaga kerja yang besar.
3.                  Fungsi diagnostik dan direktif.
Sekolah dimaksudkan untuk menentukan peran sosial yang layak bagi setiap siswa. Hal ini dilakukan dengan cara menanamkan catatan-catatan matematis secara kumulatif pada “rapor” siswa dan pada pikiran mereka.
4.                  Fungsi pembeda.
Setelah peran sosial mereka telah “didiagnosis,” anak-anak harus diurutkan berdasarkan peran dan dilatih hanya sejauh tujuan mereka dalam mesin sosial – tidak lebih jauh dari itu. Hal ini menyanggah bahwa tujuan sekolah adalah untuk membuat setiap siswa menjadi dirinya yang terbaik.
5.                  Fungsi selektif.
Hal ini merujuk bukan pada pilihan manusia tapi pada teori Darwin mengenai seleksi alam sebagaimana diterapkan pada apa yang ia sebut “ras favorit.” Singkatnya, idenya adalah untuk secara sadar berupaya untuk meningkatkan kualitas stok peternakan. Sekolah dimaksudkan untuk menandai mereka yang “tidak layak” hidup di masyarakat – dengan cara memberi nilai yang jelek, penempatan remedial dan hukuman lain – dengan sebegitu jelas sehinga teman-teman mereka akan menganggap mereka sebagai inferior dan secara efektif menghalangi mereka dari “undian” reproduksi. Itulah maksud dari semua penghinaan kecil yang diterima siswa dari kelas pertama dan seterusnya: yaitu untuk menyingkirkan “sampah” masyarakat.
6.                  Fungsi propaedeutic.
Sistem sosial yang ditunjukkan oleh aturan-aturan ini akan memerlukan suatu kelompok pengasuh yang elit. Untuk itu, sebagian kecil anak-anak secara diam-diam akan diajarkan bagaimana mengelola proyek yang berkelanjutan ini, bagaimana untuk mengawasi dan mengendalikan populasi yang sengaja dibodohkan dan dimandulkan sehingga pemerintah dapat melaju tanpa tandingan dan perusahaan selalu menerima tenaga kerja yang patuh.

Kekayaan besar bisa dicapai dalam suatu perekonomian yang didasarkan pada produksi massal dan terorganisir untuk mendukung perusahaan besar, bukan usaha kecil atau pertanian keluarga. Namun produksi massal membutuhkan konsumsi massal, dan pada pergantian abad ke-20 kebanyakan orang Amerika menganggap adalah tidak wajar dan tidak bijaksana untuk membeli sesuatu lebih dari yang mereka butuhkan. Pendidikan publik yang diwajibkan adalah alat yang tepat untuk mengubah paradigma masyarakat ini. Sekolah tidak perlu mengarahkan anak-anak untuk secara langsung berpikir bahwa mereka harus mengkonsumsi tanpa henti, karena sekolah telah melakukan sesuatu yang lebih efektif: mendorong siswa untuk tidak berpikir sama sekali. Sekolah membuat siswa duduk seperti bebek yang lumpuh dan siap menerima penemuan besar lainnya di era modern ini, yaitu: Pemasaran.
Anda tidak perlu mempelajari pemasaran untuk mengetahui bahwa ada dua kelompok orang yang selalu dapat diyakinkan untuk mengkonsumsi lebih dari yang mereka butuhkan, yaitu para pecandu dan anak-anak. Sekolah telah melakukan pekerjaan yang cukup efektif untuk mengubah anak-anak kita menjadi pecandu, dan sekolah pun telah melakukan pekerjaan yang lebih spektakuler dalam mengubah anak-anak kita untuk tetap menjadi anak-anak seumur hidupnya. Sekali lagi, ini bukan ketidaksengajaan. Para pemikir, mulai dari Plato sampai Rousseau dan Dr. Inglis, telah mengetahui bahwa jika anak-anak bisa dikungkung dengan anak-anak lain, dilucuti dari tanggung jawab dan kemandirian, didorong untuk mengembangkan emosi-emosi remeh seperti keserakahan, iri hati, kecemburuan dan ketakutan, maka mereka akan tumbuh lebih tua tetapi tidak akan pernah menjadi dewasa.
Kedewasaan sekarang telah dibuang dari hampir setiap aspek kehidupan kita. Kemudahan kredit telah menghilangkan tanggung jawab tentang pentingnya pengendalian diri dalam mengelola keuangan; kemudahan mendapatkan hiburan telah menghilangkan pentingnya belajar untuk menghibur diri sendiri; jawaban yang remeh telah menghapus kebutuhan untuk mengajukan pertanyaan. Kita telah menjadi bangsa kanak-kanak, yang dengan senang hati menyerahkan penilaian kita dan kehendak kita pada nasihat politik dan bujukan komersial yang pasti akan membuat orang dewasa sejati menjadi terhina. Kita membeli televisi, dan kemudian kita membeli hal-hal yang kita lihat pada televisi itu. Kita membeli sepatu kets yang sangat mahal, entah kita sedang membutuhkannya atau tidak, dan ketika mereka mulai aus kita terlalu cepat membeli sepasang lagi. Kita mengendarai kendaraan SUV dan mempercayai kebohongan bahwa mereka merupakan semacam asuransi jiwa (karena “aman”), bahkan ketika kita “jungkir balik” karenanya.
Sekarang kabar baiknya. Setelah Anda memahami logika di belakang sekolah modern, segala trik dan jebakannya sebenarnya cukup mudah untuk dihindari. Sekolah melatih anak-anak untuk menjadi karyawan dan konsumen; Ajarkan anak-anak Anda sendiri untuk menjadi pemimpin dan petualang. Sekolah melatih anak-anak untuk secara naluri menjadi patuh; ajarkan anak-anak Anda sendiri untuk berpikir kritis dan mandiri. Anak-anak yang dididik di sekolah memiliki ambang batas yang rendah dalam menghadapi kebosanan; bantu Anda sendiri untuk mengembangkan kehidupan batin dan pribadi yang benar-benar “hidup” sehingga mereka tidak akan pernah bosan. Dorong mereka untuk mengambil bahan-bahan serius atau materi “orang dewasa”, seperti sejarah, sastra, filsafat, musik, seni, ekonomi, teologi – yang biasanya dihindari oleh guru. Tantang anak-anak Anda dengan banyak kesendirian sehingga mereka belajar untuk menikmati diri mereka sendiri dan melakukan dialog batin. Orang-orang terdidik di sekolah dikondisikan untuk takut hidup sendirian, dan mencari persahabatan konstan melalui TV, komputer, telepon seluler, dan juga melalui persahabatan dangkal yang dengan cepat diperoleh dan dengan cepat pula ditinggalkan. Anak-anak Anda harus memiliki kehidupan yang lebih bermakna.
Namun, kita terlebih dahulu harus bangun dan memandang sekolah seperti apa mereka adanya, yaitu: laboratorium eksperimen untuk anak-anak muda, pusat latihan untuk kebiasaan dan sikap yang dituntut oleh korporasi. Pendidikan wajib hanya sesekali melayani anak-anak; tujuan sebenarnya adalah untuk mengubahnya menjadi pelayan. Jangan biarkan anak-anak Anda diperpanjang masa kecilnya, tidak bahkan untuk satu hari saja.
Entah apa yang anak-anak Anda sendiri dapat lakukan bila kita bebaskan potensinya. Setelah menghabiskan 30 tahun di dunia persekolahan, saya telah menyimpulkan bahwa kejeniusan sesungguhnya bertebaran di mana-mana. Kita menahan kejeniusan pada anak-anak kita hanya karena kita belum tahu bagaimana mengelola populasi manusia yang berpendidikan. Solusinya, saya pikir, begitu sederhana dan mulia. Biarkan mereka mengatur diri mereka sendiri.
Artikel di atas cukup memberikan gambaran kepada kita tentang tujuan pendidikan di Amerika yang tidak berbeda jauh dengan kenyataan yang terjadi di Indonesia. Sebagai sekolah yang mendidik manusia seharusnya sekolah tetap focus pada tujuan pendidikan yang benar yaitu memanusiakan manusia dan berusaha semaksimal mungkin melepaskan diri dari pengaruh situasi dan kondisi politik praktis yang berkembang. Sekolah adalah Agent of Change yaitu agen pengubah yang mengubah orang-orang menjadi bertanggung jawab dan mandiri, dan mengubah setiap orang menjadi dirinya yang terbaik.

Jumat, 20 Januari 2012

Tujuan Pendidikan (Bagian 1)

John Taylor Gatto adalah seorang pensiunan guru. Artikel ini adalah kutipan dari bukunya,Weapons of Mass Instruction: A Schoolteacher’s Journey through the Dark World of Compulsory Schooling, diterbitkan oleh New Society di bulan Oktober 2008. “Sekolah melatih anak-anak untuk tetap menjadi anak-anak sepanjang hidup mereka”, begitulah pernyataan John Taylor Gatto dalam bukunya. Ada cara lain: “Ajarkan mereka untuk menjadi pemimpin dan petualang”.
Saya mengajar selama 30 tahun di beberapa sekolah terburuk di New York City, dan juga di beberapa sekolah terbaik, dan selama waktu itu saya menjadi pakar mengenai kebosanan. Kebosanan bertebaran di mana-mana, dan jika Anda bertanya kepada para siswa, seperti yang sering kulakukan, mengapa mereka merasa begitu bosan, mereka selalu memberikan jawaban yang sama: Pekerjaan yang diberikan kepada mereka itu bodoh, tidak masuk akal, dan mereka sudah tahu mengenai hal itu. Mereka ingin melakukan sesuatu yang nyata, bukan hanya duduk-duduk. Teachers didn’t seem to know much about their subjects and weren’t interested in learning more. Para guru tampaknya tidak tahu banyak tentang subjek dan tidak tertarik untuk belajar lebih banyak. Dan para siswa itu benar: para guru itu pun sama bosannya seperti mereka.
Kebosanan adalah kondisi umum para guru di sekolah, dan siapa saja yang telah menghabiskan waktu dalam ruang guru dapat melihat hal-hal seperti energi rendah, rengekan, dan sikap yang tidak bersemangat ditemukan di sana. Ketika ditanya mengapa mereka bosan, guru cenderung menyalahkan para siswa. Siapa yang tidak bosan mengajar siswa yang tidak sopan dan hanya berfokus pada nilai? Tentu saja, guru sendiri sebenarnya adalah produk yang sama tahun program sekolah 12 tahun yang benar-benar membentuk siswa mereka, dan sebagai personel sekolah, mereka terjebak di dalam struktur yang bahkan lebih kaku daripada yang struktur yang dipaksakan kepada para siswa. Siapa kemudian yang bisa disalahkan?
Kita semua. Kakek saya lah yang mengajari hal tersebut. Suatu sore saat aku masih berumur tujuh tahun, aku mengeluh bosan padanya, dan ia memukulku dengan keras di kepala. Dia mengatakan bahwa saya tidak boleh menggunakan istilah tersebut di hadapannya lagi, bahwa jika saya merasa bosan itu adalah kesalahan saya sendiri dan bukan orang lain. Kewajiban untuk menghibur dan menginstruksikan diri saya sepenuhnya berada pada diri saya sendiri, katanya, dan mereka yang tidak tahu mengenai hal ini adalah orang yang kekanak-kanakan dan harus dihindari jika mungkin.
Kejadian itu menyembuhkan rasa bosan saya selamanya, dan selama bertahun-tahun aku bisa menyampaikan pelajaran tersebut kepada beberapa siswa yang luar biasa. Namun seringkali, saya merasa tidak ada harapan untuk menantang “kesepakatan umum” bahwa kebosanan dan sifat kekanak-kanakan adalah keadaan alami di dalam kelas. Sering kali saya harus menentang kebiasaan, dan bahkan membengkokkan hukum, untuk membantu anak-anak keluar dari perangkap ini.
Pada saat saya pensiun pada tahun 1991, saya punya lebih dari cukup alasan untuk berpikir bahwa sistem sekolah kita – dengan gaya pengurungan paksa dan berjangka panjang seperti pada penjara – adalah pabrik virtual sifat kekanak-kanakan. Dan sejujurnya saya tidak bisa mengerti mengapa mereka harus seperti itu. Pengalaman saya sendiri telah mengajarkan kepada saya apa yang pasti banyak dipelajari para guru lain juga (namun mereka rahasiakan untuk diri mereka sendiri karena takut mendapat celaan): Jika kita mau, kita dapat dengan mudah dan murah membuang yang struktur pendidikan yang kuno dan bodoh, serta membantu para siswa benar-benar mendapatkan pendidikan dan bukan hanya menerima pengajaran. Kita dapat mendorong kualitas terbaik yang dimiliki para pemuda, yaitu: rasa ingin tahu, petualangan, keuletan, kemampuan untuk memunculkan wawasan yang mengejutkan, dengan cara menjadi lebih fleksibel soal waktu, teks dan tes, memperkenalkan para siswa kepada para orang dewasa yang benar-benar kompeten, dan memberikan otonomi sebanyak yang dibutuhkan kepada para siswa untuk mengambil risiko.
Kita selalu diajarkan (atau lebih tepatnya, “disekolahkan”) untuk berpikir bahwa “kesuksesan” bersinonim dengan, atau setidaknya tergantung pada, “sekolah”.  Namun secara historis hal ini adalah tidak benar baik dalam pengertian kesuksesan intelektual maupun finansial. Banyak orang di seluruh dunia menemukan cara untuk mendidik diri sendiri tanpa bergantung pada sistem sekolah standar yang seringkali menyerupai penjara. Lalu mengapa kita mengacaukan pendidikan dengan sistem seperti ini? Apa sebenarnya tujuan sistem sekolah saat ini?
(bersambung..)

Selasa, 10 Januari 2012

Paradigma Kecerdasan (Bagian 3)

A. THOMAS ARMSTRONG
Thomas Armstrong yang berasal dari latar belakang pendidikan khusus adalah salah satu pendidik pertama yang menerjemahkan teori Multiple Intelligences. Armstrong berusaha menerjemahkan teori Multiple Intelligences, yang semula dalam ranah psikologi, ke dalam ranah pendidikan. Armstrong memasukkan sentuhan-sentuhannya sendiri: petunjuk adanya “Pengalaman yang melumpuhkan”, yang melengkapi konsep Joseph Walter dan Gardner tentang “Pengalaman yang mengkristalkan”; anjurannya untuk menggunakan kenakalan-kenakalan siswa sebagai petunjuk pengembangan kecerdasan mereka; saran-saran informal tentang cara melibatkan siswa dalam proses penilaian kecerdasan mereka sendiri dan cara mengelola kelas dengan pendekatan Multiple Intelligences.


Selama empat belas tahun Armstrong mencoba menerapkan teori Multiple Intelligences Howard Gardner dalam persoalan-persoalan dasar mengajar di kelas. Dia mulai tertarik pada teori Multiple Intelligences pada 1985, saat menyadari teori ini memungkinkan kita berbicara tentang bakat alami anak-anak, terutama mereka yang dicap sebagai anak yang bermasalah dalam belajar di sekolah (Armstrong, 1987). Pada 1970-an sampai 1980-an, sebagai seorang spesialis yang menangani siswa yang mengalami kesulitan belajar, dia mulai terdorong untuk meninggalkan model yang disebutnya paradigma deficit dalam pendidikan khusus. Dia ingin mengembangkan sebuah model baru berdasarkan pada hal yang dilihatnya sebagai ragam-bakat para siswa yang dianggap “cacat”.
Sejak penerbitan bukunya Howard Gardner, Frames of Mind pada 1983, kesadaran pendidik tentang teori Multiple Intelligences berkembang pesat. Dari sebuah model yang semula popular terutama di bidang pendidikan khusus dan sekolah-sekolah serta guru-guru di kalangan terbatas di Amerika Serikat pada 1980-an, teori Multiple Intelligences meluas hingga menjangkau ratusan distrik sekolah, ribuan sekolah, puluhan ribu guru di Amerika Serikat, serta di berbagai Negara lain pada 1990-an. Para pendidik menerapkan konsep-konsep Multiple Intelligences dalam banyak hal, mulai dari program untuk anak-anak (Merrefield, 1997) sampai sekolah tinggi (Diaz-Lefebvre & Finnegan, 1997), bahkan di panti penampungan gelandangan (Taylor-King, 1997).

B. MUNIF CHATIB

Munif Chatib adalah seorang tokoh pendidikan yang sangat aktif memperjuangkan teori Multiple Intelligences agar dapat diterapkan pada sistem pendidikan di Indonesia. Pada tahun 1998-1999, Chatib menyelesaikan studi Distance Learning di Superchamp Oceanside California USA yang dipimpin oleh Bobbi DePoorter. Dari 73 lulusan alimni pertama tersebut, beliau menduduki peringkat ke-5 dan satu-satunya lulusan dari Indonesia.
Kemudian, sampai dengan tahun 2007, Chatib, dengan bimbingan Howard Gardner telah mengembangkan penelitian tentang MIR (Multiple Intelligences Research) agar dapat diterapkan di Indonesia. MIR adalah instrument riset yang dapat memberikan deskripsi tentang kecendrungan kecerdasan seseorang. Dari analisis terhadap kecendrungan kecerdasan tersebut, dapat disimpulkan gaya belajar terbaik bagi seseorang. Setiap guru harus menyesuaikan gaya mengajarnya dengan gaya belajar siswa yang telah diketahui dari hasil MIR. MIR yang dilakukan secara berkala terhadap seseorang dalam hubungannya dengan proses belajar mengajar akan menjadi akselerator baginya untuk menemukan kondisi terbaik.
J.K.  Rowling (Penulis novel fiksi Harry Potter) menemukan kondisi akhir terbaiknya pada usia 43 tahun sehingga menjadikan dia sebagai wanita terkaya sedunia 2007 (majalah Forbes). Namun, ada juga sebagian orang berhasil menemukan kondisi akhir terbaiknya sejak dini, misalkan pada umur 5 tahun atau bahkan lebih awal. Dengan MIR yang dilakukan secara rutin (minimal setiap tahun), setiap siswa memiliki data riwayat kecerdasan yang memungkinkan seseorang lebih cepat menemukan kondisi akhir terbaiknya.


Tabel : Anak dengan kondisi akhir terbaik di awal usia

NO
Nama dan Asal Negara
Kecerdasan
Kondisi Akhir Terbaik dan Umurnya
1
Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’I (iran)
Spasial-Visual
Hafal Al Quran beserta maknanya dengan metode photocopy memory (5 Tahun)
Gelar doctor kehormatan dari universitas di Inggris (7 tahun)
2
Alia Sabur (Amerika Serikat)
Linguistik
Musikal
Mulai membaca dan bicara (umur 8 Bulan)
Konser Solo Mozart Concerto (umur 11 tahun)
3
Ghefira Nurfatimah (Indonesia)
Linguistik
Pemegang rekor MURI untuk penulis termuda Indonesia (kelas 2 SD)

4
Maria Audrey Lukito (Indonesia)
Linguistik
Sarjana Termuda Indonesia (16 Tahun)
Anak usia termuda (14 tahun) dari Indonesia yang menguasai 3 bahasa asing: Inggris (TOEFL:670), Prancis (Lulus DELF A3), dan Rusia (dari University of Virginia)
Peserta termuda (14 tahun) dari Indonesia dengan nilai tinggi (670) untuk ujian TOEFL
Mahasiswi termuda (13 tahun) dari Indonesia yang masuk perguruan tinggi di Amerika (Mary Baldwin College)
5
Jeane Phialsa (Alsa) (Indonesia)
Musikal
Drumer professional termuda Indonesia (7 tahun)

Bersambung...

Jumat, 06 Januari 2012

Paradigma Kecerdasan (Bagian 2)

                      MULTIPLE INTELIGENCE:  HOWARD GARDNER


Hampir delapan puluh tahun setelah dikembangkannya tes IQ, psikolog Harvard, Howard Gardner mempersoalkan pengertian kecerdasan yang diyakini masyarakat selama ini. Dia mengatakan bahwa penafsiran kecerdasan di kebudayaan kita terlalu sempit. Sebagai gantinya, dalam bukunya Frames of Mind (Gardner, 1983) dia mengemukakan sekurang-kurangnya ada tujuh kecerdasan dasar.  Belum lama berselang, dia menambahkan kecerdasan kedelapan dan kemungkinan adanya kecerdasan yang kesembilan (Gardner, 1999). Dengan teori kecerdasan majemuk, Gardner berusaha memperluas lingkup potensi manusia melampaui batas nilai IQ. Dengan serius dia mempertanyakan keabsahan penilaian kecerdasan individu melalui tes-tes yang dilakukan di luar lingkungan belajar alamiah dan yang dilakukan dengan meminta seseorang melakukan tindakan terisolasi yang belum pernah ia lakukan sebelumnya - dan mungkin, tidak akan pernah ia lakukan lagi. Sebagai gantinya, Gardner menyatakan bahwa kecerdasan lebih berkaitan dengan kapasitas (1) memcahkan masalah dan (2) menciptakan produk di lingkungan yang kondusif dan alamiah.
Gardner memetakan lingkup kemampuan manusia yang luas menjadi delapan kategori yang komprehensif atau delapan “kecerdasan dasar”.
Kecerdasan Linguistik. Kemampuan menggunakan kata secara efektif, baik secara lisan (misalnya, pendongeng, orator, atau politisi) maupun tertulis (misalnya, sastrawan, drama, editor, wartawan).
Kecerdasan Matematis-Logis. Kemampuan menggunakan angka dengan baik (misalnya, ahli matematika, akuntan pajak, ahli statistic) dan melakukan penalaran yang benar (misalnya, sebagai ilmuwan, pemrograman computer, atau ahli logika).
Kecerdasan Spasial. Kemampuan mempersepsi dunia spasial-visual secara akurat (misalnya, sebagai pemburu, pramuka, pemandu) dan mentarsformasikan persepsi dunia spasial-visual tersebut (misalnya, decorator interior, arsitek, seniman atau penemu).
Kecerdasan Kinestik­-Jasmani. Kemampuan menggunakan seluruh tubuh untuk mengekspresikan ide dan perasaan (misalnya, sebagai actor, pemain pantomime, atlet, atau penari) dan keterampilan menggunakan tangan untuk menciptakan atau mengubah sesuatu (misalnya, sebagai pengrajin, pematung, ahli mekanik, dokter bedah).
Kecerdasan Musikal. Kemampuan menangani bentuk-bentuk musical, dengan mempersepsi (misalnya, sebagai kritikus music), membedakan (misalnya, sebagai kritikus music), menggubah (misalnya, composer), dan mengekspresikan (misalnya, sebagai penyanyi).
Kecerdasan Interpersonal. Kemampuan memersepsi dan membedakan suasana hati, maksud, motivasi, serta perasaan orang lain.
Kecerdasan Intrapersonal. Kemampuan memahami diri sendiri dan bertindak berdasarkan pemahaman tersebut.
Kecerdasan Naturalis. Keahlian mengenali dan mengategorikan species-flora dan fauna- di lingkungan sekitar.

Tabel: Kecerdasan dan Kondisi Akhir Terbaik
Kecerdasan
Komponen Inti
Kondisi Akhir Terbaik
Linguistik
Kepekaan pada bunyi, struktur, makna, fungsi
Penulis, orator (misalnya, Virginia Woolf Jr., Martin Luther King, Helen Keller, Agatha Christie, Sapardi Joko Damono)
Matematis-Logis
Kecerdasan dan kapasitas mencerna pola-pola logis atau numeris; kemampuan mengolah alur pemikiran yang panjang.
Ilmuwan, ahli matematika (misalnya, Madame Currie, Blaise Pascal, Bill Gates, Habibie)
Spasial
Kepekaan memersepsi (merasakan) dunia spasial-visual secara akurat dan mentransformasi persepsi awal.
Seniman, Arsitek (misalnya, Frida Kahlo, I.M. Pei, Joko Pekik, Garin Nugroho)
Kinestis-Jasmani
Kemampuan mengontrol gerak tubuh dan kemahiran mengelola objek.
Penari, atlet, pematung (misalnya, Martha Graham, Auguste Rodin, Maradona, Susi Susanti, Gusmiati said)
Musikal
Kemampuan menciptakan dan mengapresiasi irama, pola titinada, dan warna nada; apresiasi bentuk-bentuk ekspresi musical.
Composer dan penyanyi (misalnya, Stevie Wonder, Midori, Ramona Purba, Asep Irama)
Interpersonal
Kemampuan mencerna dan merespons secara tepat suasana hati, temperamen, motivasi, dan keinginan orang lain.
Konselor dan pemimpin politik (misalnya, Carl Rogers, Nelson Mandela, Margaret Thatcher, Indira Gandhi, Soekarno)
Intrapersonal
Memahami perasaan sendiri dan kemampuan membedakan emosi; pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan diri.
Psikoterapis, pemimpin keagamaan (misalnya, Sigmund Freud, Buddha)
Naturalis
Keahlian membedakan anggota-anggota suatu spesies; mengenali eksistensi spesies lain; dan memetakan hubungan antara beberapa spesies, baik secara informal maupun formal.
Peneliti Alam, ahli biologi, aktivis binatang (misalnya, Charles Darwin, E.O. Wilson, Jane Goodall, Louis Pasteur)

Di samping pembahasan kedelapan kecerdasan, beberapa poin-poin kunci tentang  model teori Multiple Intelligences (MI) yang juga perlu diperhatikan:
1.      Setiap orang memiliki kedelapan kecerdasan. Teori MI bukanlah “teori jenis” untuk menentukan satu kecerdasan yang sesuai. Teori ini adalah teori fungsi kognitif, yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki kapasitas dalam kedelapan kecerdasan tersebut. Kedelapan kecerdasan tersebut berfungsi berbarengan dengan cara yang berbeda-beda pada diri setiap orang. Beberapa orang memiliki tingkatan yang sangat tinggi pada semua atau hampir semua kecerdasan - misalnya, penyair - negarawan -  ilmuwan - naturalis - filsuf Jerman Johann Wolfgang von Goethe. Sebagian yang lain, seperti yang ada di lembaga - lembaga keterbelakangan mental, tampaknya memiliki kekurangan dalam semua aspek kecerdasan, kecuali aspek kecerdasan yang paling mendasar. Secara umum, kita berada di antara dua kutub ini - sangat berkembang dalam sejumlah kecerdasan, cukup berkembang dalam kecerdasan tertentu, dan relative agak terbelakang dalam kecerdasan yang lain.
2.      Orang pada umumnya dapat mengembangkan setiap kecerdasan sampai pada tingkat penguasaan yang memadai. Meskipun mungkin orang akan menyesali kekurangan di wilayah kecerdasan tertentu dan menganggap masalah ini sebagai masalah masalah bawaan dan tidak dapat diubah, Gardner berpendapat bahwa setiap orang sebenarnya memiliki kemampuan mengembangkan kedelapan kecerdasan sampai pada kinerja tingkat tinggi yang memadai apabila ia memperoleh cukup dukungan, pengayaan, dan pengajaran.
3.      Kecerdasan-kecerdasan umumnya bekerja bersamaan dengan cara yang kompleks. Gardner menunjukkan bahwa setiap kecerdasan yang telah dibahas di muka sebenarnya hanyalah “rekaan”; yakni, tidak ada kecerdasan yang berdiri sendiri dalam kehidupan sehari-hari (kecuali mungkin untuk kasus yang amat langka pada diri savant dan orang yang mengalami cidera otak). Kecerdasan selalu berinteraksi satu sama lain.
4.      Ada banyak cara untuk menjadi cerdas dalam setiap kategori. Tidak ada rangkaian atribut standar yang harus dimiliki seseorang untuk dapat disebut cerdas dalam wilayah tertentu. Oleh karena itu, orang mungkin saja tidak dapat membaca, tetapi memiliki kecerdasan linguistic yang tinggi karena ia dapat menyampaikan cerita memukau atau memiliki kosa kata lisan yang luas. Demikian pula, orang mungkin tampak canggung ketika berada di lapangan olah raga, tetapi memiliki kecerdasan kinestik-jasmani yang luar biasa ketika ia merajut karpet atau membuat papan catur yang indah.(Multiple Intelligences in the Classroom, hal. 16-17, Thomas Armstrong, 2000). 
Bersambung ke http://kecerdasanmanusia.blogspot.com/2012/01/paradigma-kecerdasan-bagian-3.html
B



Selasa, 03 Januari 2012

Paradigma Kecerdasan (Bagian 1)

Multiple Inteligence adalah wacana baru tentang kecerdasan. Pemahaman makna kecerdasan merupakan awal dari aplikasi banyak hal yang terkait dalam diri manusia, terutama dalam dunia pendidikan. Kesepakatan atas paradigma dan makna tentang kecerdasan selanjutnya menjadi awal penyusunan dan aplikasi sebuah sistem pendidikan.

Apakah yang dimaksud kecerdasan?. Sejak beratus-ratus tahun yang lalu manusia berusaha memahami makna kecerdasan. Teori kecerdasan terus berkembang, mulai dari Plato, Aristoteles, Darwin, Alfred Binet, Stanberg, Piaget, sampai yang terakhir adalah Howard Gardner. 

Teori kecerdasan mengalami puncak perubahan paradigma pada 1983 saat Dr. Howard Gardner, pemimpin Project Zero Harvard University mengumumkan perubahan makna kecerdasan dari pemahaman sebelumnya. Teori Multiple Intelligences yang belakangan ini banyak diikuti oleh psikolog dunia yang berpikiran maju, mulai menyita perhatian masyarakat dunia. Multiple Intelligences pada awalnya berada di ranah psikologi namun kemudian berkembang sampai ke ranah pendidikan, bahkan telah merambah ke ranah dunia professional di organisasi-organisasi bisnis.

a.      TES IQ
Alfred Binet, pembuat tes IQ, adalah seorang psikolog yang professional, tetapi dia tidak mampu menolak permintaan penguasa dan birokratis yang tidak professional untuk menghubungkan kecerdasan seseorang dengan eugenic (factor keturunan). Permintaan ini dilatar belakangi oleh fakta sejarah yang terjadi pada 1900-an di Prancis dan Negara Eropa lainnya bahwa peran kaum buruh dalam konstelasi politik domestic meningkat tajam.
Kaum buruh lantang bicara di parlemen tentang hak-haknya sebagai warga Negara. Mereka berpendapat bahwa wakil mereka harus ada di parlemen sebagai suara rakyat. Penguasa dan para bangsawan pada saat itu khawatir jika kekuasaan yang telah mereka nikmati selama bertahun-tahun akan direbut oleh kaum buruh. Padahal, awalnya kaum buruh adalah bawahan, bahkan menjadi budak penguasa. Apalagi pengaruh pemikiran dan propaganda dari tokoh-tokoh buruh pada saat itu: Mussolini di Italia dan Karl Marx di Jerman member semangat kaum buruh untuk memperjuangkan eksistensinya di kancah politik.

Jika diteliti secara mendalam, tes IQ yang diciptakan Binet mengandung konsep eugenic (keturunan). Sebenarnya, hasil test ini ingin menghubungkan factor keturunan dengan factor kecerdasan. Argumentasi yang ingin dikembangkan pada saat itu adalah penguasa atau bangsawan pasti memiliki keturunan anak-anak yang cerdas sebab penguasa dan bangsawan adalah kelompok masyarakat yang cerdas. Sebaliknya, kelompok buruh yang notabene pekerja kasar adalah mereka yang tidak cerdas, dan oleh karena itu pasti akan melahirkan keturunan-keturunan yang bodoh. Hal yang berbahaya bagi Negara jika dipimpin oleh generasi yang bodoh dan tidak cerdas.

Pengelompokan hasil tes IQ menjadi kelompok angka-angka yang statis menunjukkan kenyataan tersebut. Sehingga secara praktis, hasil tes IQ anak-anak masyarakat buruh pada saat itu pada range angka IQ yang rendah.

IQ adalah usia mental  seseorang dibagi dengan usia kronologis, lalu dikalikan dengan 100. Rumusnya adalah :
IQ = MA/CA x 100
MA adalah Mental Age dan CA adalah Chronological Age

Jika, usia mental seseorang sama dengan usia kronologis, IQ orang itu adalah 100. Kemudian, angka IQ tersebut dimasukkan ke sebuah daftar yang memuat angka IQ dari banyak orang, lalu dibuat sebuah grafik dan dibandingkan antara angka orang yang satu dengan yang lainnya. Metode perhitungan inilah yang menimbulkan perdebatan dikalangan para ahli. Jika ada sejuta anak yang dites  IQ, maka akan menghasilkan angka IQ yang dipaksa masuk range angka anak bodoh, anak normal, anak cerdas, dan anak genius. (Munif Chatib, Sekolahnya Manusia, 2009). (Bersamabung..)