Minggu, 29 Januari 2012

Tujuan Pendidikan (Bagian 2)

Pendidikan massal yang bersifat memaksa sebagian besar digagas dan dianjurkan pada abad ke-19. Alasan yang diberikan untuk melegitimasi pergolakan besar dalam kehidupan keluarga dan tradisi budaya ini, paling tidak ada tiga: untuk mencetak orang-orang yang baik, untuk mencetak warga negara yang baik, dan untuk membuat setiap orang menjadi dirinya yang terbaik.
Tujuan ini masih sering digembar-gemborkan secara teratur, dan kebanyakan dari kita menerima mereka sebagai definisi yang layak dari misi pendidikan publik, walaupun sekolah pada kenyataannya telah gagal dalam mencapai tujuan-tujuan itu. Namun kita pun salah dalam menerima definisi tersebut. Coba kita lihat buku Alexander Inglis yang terbit pada tahun 1918, Prinsip-Prinsip Pendidikan Menengah. Di dalamnya, Inglis menjelaskan bahwa wajib belajar di AS itu dimaksudkan untuk menjadi pilar kelima gerakan demokrasi yang mengancam akan memberikan petani dan kaum proletar hak suara di meja perundingan. Industri  wajib belajar modern ditujukan untuk memecah potensi rakyat kelas bawah ini untuk bersatu. sayatan bedah menjadi calon kesatuan underclasses ini. Pecah anak-anak ke dalam kelompok-kelompok menurut subyek, menurut usia, dengan tes pemeringkatan terus-menerus dan dengan banyak cara lain yang lebih halus, maka kecil kemungkinannya bagi kaum tidak terdidik ini, yang telah dipecah-pecah sejak anak-anak, untuk bergabung menjadi satu kesatuan yang berbahaya.
Inglis menjabarkan tujuan sebenarnya dari pendidikan modern menjadi enam fungsi dasar, di mana setiap tujuan ini cukup menggejutkan kita yang terlalu naif mempercayai definisi tradisional dari tujuan sekolah massal yang sudah disebutkan di awal tadi:

1.                  Fungsi adjustive/adaptif.
Sekolah bertujuan untuk membangun kebiasaan reaksi yang konstan terhadap otoritas. Ini, tentu saja, akan menghalangi penilaian kritis. Hal ini juga menghancurkan gagasan bahwa materi yang berguna atau menarik harus diajarkan, karena Anda tidak dapat menguji kepatuhan refleksif sampai Anda tahu apakah Anda dapat membuat anak-anak belajar, dan melakukan, hal-hal yang bodoh dan membosankan.
2.                  Fungsi integratif.
Ini mungkin juga bisa disebut “fungsi keseragaman,” karena tujuannya adalah untuk membuat anak-anak seseragam mungkin. Orang-orang yang seragam dapat diprediksi, dan ini tentu sangat berguna bagi mereka yang ingin memanfaatkan dan memanipulasi massa tenaga kerja yang besar.
3.                  Fungsi diagnostik dan direktif.
Sekolah dimaksudkan untuk menentukan peran sosial yang layak bagi setiap siswa. Hal ini dilakukan dengan cara menanamkan catatan-catatan matematis secara kumulatif pada “rapor” siswa dan pada pikiran mereka.
4.                  Fungsi pembeda.
Setelah peran sosial mereka telah “didiagnosis,” anak-anak harus diurutkan berdasarkan peran dan dilatih hanya sejauh tujuan mereka dalam mesin sosial – tidak lebih jauh dari itu. Hal ini menyanggah bahwa tujuan sekolah adalah untuk membuat setiap siswa menjadi dirinya yang terbaik.
5.                  Fungsi selektif.
Hal ini merujuk bukan pada pilihan manusia tapi pada teori Darwin mengenai seleksi alam sebagaimana diterapkan pada apa yang ia sebut “ras favorit.” Singkatnya, idenya adalah untuk secara sadar berupaya untuk meningkatkan kualitas stok peternakan. Sekolah dimaksudkan untuk menandai mereka yang “tidak layak” hidup di masyarakat – dengan cara memberi nilai yang jelek, penempatan remedial dan hukuman lain – dengan sebegitu jelas sehinga teman-teman mereka akan menganggap mereka sebagai inferior dan secara efektif menghalangi mereka dari “undian” reproduksi. Itulah maksud dari semua penghinaan kecil yang diterima siswa dari kelas pertama dan seterusnya: yaitu untuk menyingkirkan “sampah” masyarakat.
6.                  Fungsi propaedeutic.
Sistem sosial yang ditunjukkan oleh aturan-aturan ini akan memerlukan suatu kelompok pengasuh yang elit. Untuk itu, sebagian kecil anak-anak secara diam-diam akan diajarkan bagaimana mengelola proyek yang berkelanjutan ini, bagaimana untuk mengawasi dan mengendalikan populasi yang sengaja dibodohkan dan dimandulkan sehingga pemerintah dapat melaju tanpa tandingan dan perusahaan selalu menerima tenaga kerja yang patuh.

Kekayaan besar bisa dicapai dalam suatu perekonomian yang didasarkan pada produksi massal dan terorganisir untuk mendukung perusahaan besar, bukan usaha kecil atau pertanian keluarga. Namun produksi massal membutuhkan konsumsi massal, dan pada pergantian abad ke-20 kebanyakan orang Amerika menganggap adalah tidak wajar dan tidak bijaksana untuk membeli sesuatu lebih dari yang mereka butuhkan. Pendidikan publik yang diwajibkan adalah alat yang tepat untuk mengubah paradigma masyarakat ini. Sekolah tidak perlu mengarahkan anak-anak untuk secara langsung berpikir bahwa mereka harus mengkonsumsi tanpa henti, karena sekolah telah melakukan sesuatu yang lebih efektif: mendorong siswa untuk tidak berpikir sama sekali. Sekolah membuat siswa duduk seperti bebek yang lumpuh dan siap menerima penemuan besar lainnya di era modern ini, yaitu: Pemasaran.
Anda tidak perlu mempelajari pemasaran untuk mengetahui bahwa ada dua kelompok orang yang selalu dapat diyakinkan untuk mengkonsumsi lebih dari yang mereka butuhkan, yaitu para pecandu dan anak-anak. Sekolah telah melakukan pekerjaan yang cukup efektif untuk mengubah anak-anak kita menjadi pecandu, dan sekolah pun telah melakukan pekerjaan yang lebih spektakuler dalam mengubah anak-anak kita untuk tetap menjadi anak-anak seumur hidupnya. Sekali lagi, ini bukan ketidaksengajaan. Para pemikir, mulai dari Plato sampai Rousseau dan Dr. Inglis, telah mengetahui bahwa jika anak-anak bisa dikungkung dengan anak-anak lain, dilucuti dari tanggung jawab dan kemandirian, didorong untuk mengembangkan emosi-emosi remeh seperti keserakahan, iri hati, kecemburuan dan ketakutan, maka mereka akan tumbuh lebih tua tetapi tidak akan pernah menjadi dewasa.
Kedewasaan sekarang telah dibuang dari hampir setiap aspek kehidupan kita. Kemudahan kredit telah menghilangkan tanggung jawab tentang pentingnya pengendalian diri dalam mengelola keuangan; kemudahan mendapatkan hiburan telah menghilangkan pentingnya belajar untuk menghibur diri sendiri; jawaban yang remeh telah menghapus kebutuhan untuk mengajukan pertanyaan. Kita telah menjadi bangsa kanak-kanak, yang dengan senang hati menyerahkan penilaian kita dan kehendak kita pada nasihat politik dan bujukan komersial yang pasti akan membuat orang dewasa sejati menjadi terhina. Kita membeli televisi, dan kemudian kita membeli hal-hal yang kita lihat pada televisi itu. Kita membeli sepatu kets yang sangat mahal, entah kita sedang membutuhkannya atau tidak, dan ketika mereka mulai aus kita terlalu cepat membeli sepasang lagi. Kita mengendarai kendaraan SUV dan mempercayai kebohongan bahwa mereka merupakan semacam asuransi jiwa (karena “aman”), bahkan ketika kita “jungkir balik” karenanya.
Sekarang kabar baiknya. Setelah Anda memahami logika di belakang sekolah modern, segala trik dan jebakannya sebenarnya cukup mudah untuk dihindari. Sekolah melatih anak-anak untuk menjadi karyawan dan konsumen; Ajarkan anak-anak Anda sendiri untuk menjadi pemimpin dan petualang. Sekolah melatih anak-anak untuk secara naluri menjadi patuh; ajarkan anak-anak Anda sendiri untuk berpikir kritis dan mandiri. Anak-anak yang dididik di sekolah memiliki ambang batas yang rendah dalam menghadapi kebosanan; bantu Anda sendiri untuk mengembangkan kehidupan batin dan pribadi yang benar-benar “hidup” sehingga mereka tidak akan pernah bosan. Dorong mereka untuk mengambil bahan-bahan serius atau materi “orang dewasa”, seperti sejarah, sastra, filsafat, musik, seni, ekonomi, teologi – yang biasanya dihindari oleh guru. Tantang anak-anak Anda dengan banyak kesendirian sehingga mereka belajar untuk menikmati diri mereka sendiri dan melakukan dialog batin. Orang-orang terdidik di sekolah dikondisikan untuk takut hidup sendirian, dan mencari persahabatan konstan melalui TV, komputer, telepon seluler, dan juga melalui persahabatan dangkal yang dengan cepat diperoleh dan dengan cepat pula ditinggalkan. Anak-anak Anda harus memiliki kehidupan yang lebih bermakna.
Namun, kita terlebih dahulu harus bangun dan memandang sekolah seperti apa mereka adanya, yaitu: laboratorium eksperimen untuk anak-anak muda, pusat latihan untuk kebiasaan dan sikap yang dituntut oleh korporasi. Pendidikan wajib hanya sesekali melayani anak-anak; tujuan sebenarnya adalah untuk mengubahnya menjadi pelayan. Jangan biarkan anak-anak Anda diperpanjang masa kecilnya, tidak bahkan untuk satu hari saja.
Entah apa yang anak-anak Anda sendiri dapat lakukan bila kita bebaskan potensinya. Setelah menghabiskan 30 tahun di dunia persekolahan, saya telah menyimpulkan bahwa kejeniusan sesungguhnya bertebaran di mana-mana. Kita menahan kejeniusan pada anak-anak kita hanya karena kita belum tahu bagaimana mengelola populasi manusia yang berpendidikan. Solusinya, saya pikir, begitu sederhana dan mulia. Biarkan mereka mengatur diri mereka sendiri.
Artikel di atas cukup memberikan gambaran kepada kita tentang tujuan pendidikan di Amerika yang tidak berbeda jauh dengan kenyataan yang terjadi di Indonesia. Sebagai sekolah yang mendidik manusia seharusnya sekolah tetap focus pada tujuan pendidikan yang benar yaitu memanusiakan manusia dan berusaha semaksimal mungkin melepaskan diri dari pengaruh situasi dan kondisi politik praktis yang berkembang. Sekolah adalah Agent of Change yaitu agen pengubah yang mengubah orang-orang menjadi bertanggung jawab dan mandiri, dan mengubah setiap orang menjadi dirinya yang terbaik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar