Jumat, 20 Januari 2012

Tujuan Pendidikan (Bagian 1)

John Taylor Gatto adalah seorang pensiunan guru. Artikel ini adalah kutipan dari bukunya,Weapons of Mass Instruction: A Schoolteacher’s Journey through the Dark World of Compulsory Schooling, diterbitkan oleh New Society di bulan Oktober 2008. “Sekolah melatih anak-anak untuk tetap menjadi anak-anak sepanjang hidup mereka”, begitulah pernyataan John Taylor Gatto dalam bukunya. Ada cara lain: “Ajarkan mereka untuk menjadi pemimpin dan petualang”.
Saya mengajar selama 30 tahun di beberapa sekolah terburuk di New York City, dan juga di beberapa sekolah terbaik, dan selama waktu itu saya menjadi pakar mengenai kebosanan. Kebosanan bertebaran di mana-mana, dan jika Anda bertanya kepada para siswa, seperti yang sering kulakukan, mengapa mereka merasa begitu bosan, mereka selalu memberikan jawaban yang sama: Pekerjaan yang diberikan kepada mereka itu bodoh, tidak masuk akal, dan mereka sudah tahu mengenai hal itu. Mereka ingin melakukan sesuatu yang nyata, bukan hanya duduk-duduk. Teachers didn’t seem to know much about their subjects and weren’t interested in learning more. Para guru tampaknya tidak tahu banyak tentang subjek dan tidak tertarik untuk belajar lebih banyak. Dan para siswa itu benar: para guru itu pun sama bosannya seperti mereka.
Kebosanan adalah kondisi umum para guru di sekolah, dan siapa saja yang telah menghabiskan waktu dalam ruang guru dapat melihat hal-hal seperti energi rendah, rengekan, dan sikap yang tidak bersemangat ditemukan di sana. Ketika ditanya mengapa mereka bosan, guru cenderung menyalahkan para siswa. Siapa yang tidak bosan mengajar siswa yang tidak sopan dan hanya berfokus pada nilai? Tentu saja, guru sendiri sebenarnya adalah produk yang sama tahun program sekolah 12 tahun yang benar-benar membentuk siswa mereka, dan sebagai personel sekolah, mereka terjebak di dalam struktur yang bahkan lebih kaku daripada yang struktur yang dipaksakan kepada para siswa. Siapa kemudian yang bisa disalahkan?
Kita semua. Kakek saya lah yang mengajari hal tersebut. Suatu sore saat aku masih berumur tujuh tahun, aku mengeluh bosan padanya, dan ia memukulku dengan keras di kepala. Dia mengatakan bahwa saya tidak boleh menggunakan istilah tersebut di hadapannya lagi, bahwa jika saya merasa bosan itu adalah kesalahan saya sendiri dan bukan orang lain. Kewajiban untuk menghibur dan menginstruksikan diri saya sepenuhnya berada pada diri saya sendiri, katanya, dan mereka yang tidak tahu mengenai hal ini adalah orang yang kekanak-kanakan dan harus dihindari jika mungkin.
Kejadian itu menyembuhkan rasa bosan saya selamanya, dan selama bertahun-tahun aku bisa menyampaikan pelajaran tersebut kepada beberapa siswa yang luar biasa. Namun seringkali, saya merasa tidak ada harapan untuk menantang “kesepakatan umum” bahwa kebosanan dan sifat kekanak-kanakan adalah keadaan alami di dalam kelas. Sering kali saya harus menentang kebiasaan, dan bahkan membengkokkan hukum, untuk membantu anak-anak keluar dari perangkap ini.
Pada saat saya pensiun pada tahun 1991, saya punya lebih dari cukup alasan untuk berpikir bahwa sistem sekolah kita – dengan gaya pengurungan paksa dan berjangka panjang seperti pada penjara – adalah pabrik virtual sifat kekanak-kanakan. Dan sejujurnya saya tidak bisa mengerti mengapa mereka harus seperti itu. Pengalaman saya sendiri telah mengajarkan kepada saya apa yang pasti banyak dipelajari para guru lain juga (namun mereka rahasiakan untuk diri mereka sendiri karena takut mendapat celaan): Jika kita mau, kita dapat dengan mudah dan murah membuang yang struktur pendidikan yang kuno dan bodoh, serta membantu para siswa benar-benar mendapatkan pendidikan dan bukan hanya menerima pengajaran. Kita dapat mendorong kualitas terbaik yang dimiliki para pemuda, yaitu: rasa ingin tahu, petualangan, keuletan, kemampuan untuk memunculkan wawasan yang mengejutkan, dengan cara menjadi lebih fleksibel soal waktu, teks dan tes, memperkenalkan para siswa kepada para orang dewasa yang benar-benar kompeten, dan memberikan otonomi sebanyak yang dibutuhkan kepada para siswa untuk mengambil risiko.
Kita selalu diajarkan (atau lebih tepatnya, “disekolahkan”) untuk berpikir bahwa “kesuksesan” bersinonim dengan, atau setidaknya tergantung pada, “sekolah”.  Namun secara historis hal ini adalah tidak benar baik dalam pengertian kesuksesan intelektual maupun finansial. Banyak orang di seluruh dunia menemukan cara untuk mendidik diri sendiri tanpa bergantung pada sistem sekolah standar yang seringkali menyerupai penjara. Lalu mengapa kita mengacaukan pendidikan dengan sistem seperti ini? Apa sebenarnya tujuan sistem sekolah saat ini?
(bersambung..)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar