Kamis, 01 Mei 2014

5 Bingkisan Bagi Pendidik untuk Peserta Didik

10 November tahun 2012 lalu, saya bersama guru dan dosen Putera Indonesia Malang mengikuti bedah buku “Gurunya Manusia” oleh Bapak Munif Chatib, Pakar multiple intelligences serta pengarang sekaligus penulis buku Gurunya Manusia dan Sekolahnya Manusia. Banyak pencerahan yang saya dapatkan dari kegiatan tersebut, terutama masalah paradigma pendidik terhadap peserta didik dalam proses pembelajaran. Pada kesempatan ini, saya akan membagi paradigma-paradigma tersebut kepada pembaca Buletin Coret.
Bapak Munif Chatib mengemas paradigma dimaksud menjadi lima bingkisan bagi guru. Kemudian beliau mengajak kita untuk membuka 5 bingkisan terindah bagi anak atau peserta didik kita. Bingkisan yang jika kita buka, kita akan merasakan sensasi rasa berbeda yang ditimbulkan dan ditujukan kepada kita dari anak atau peserta didik kita. Kelima bingkisan itu adalah:

  1. BINTANG, yaitu memandang setiap anak yang dilahirkan adalah JUARA (pintar, cerdas dan bintang). Bagaimanapun kondisi anak yang dilahirkan, Allah tidak pernah menciptakan produk gagal. Keyakinan ini jika ditanamkan dalam alam bawah sadar pendidik maka akan menghasilkan proses pendidikan yang luar biasa. Telah banyak bukti bahwa kesuksesan peseta didik tergantung mind set dari sang pendidik terhadap peserta didik. Contohnya, Lena Maria seorang yang cacat fisik, dia tidak memiliki tangan dan hanya memiliki satu kaki namun mampu menghasilkan prestasi juara Olimpiade Renang. Dia mampu memasak, menyetir mobil, menyulam dan banyak hal lain yang dapat dihasilkan seolah-olah dia tidak cacat. Silakan lihat keseharian Lena Maria di link http://www.youtube.com/watch?v=GuCtez-fAmM
Contoh lain, Hellen Keller, seorang tuna rungu dan tuna netra. Dia mampu belajar dengan kekurangan-kekurangannya tersebut dengan menggunakan bahasa isyarat. Kondisi akhir terbaiknya yang berhasil dicapai adalah sebagai seorang penulis, aktivis politik dan pengajar. Ia orang buta tuli pertama yang berhasil menyelesaikan kuliah seni. Dan masih banyak contoh-contoh lainnya yang menunjukkan bahwa setiap anak adalah BINTANG.
Tips yang harus kita terapkan sebagai pendidik adalah pertama kita harus mengklik alam bawah sadar kita dengan tombol “ON” dalam posisi BINTANG, artinya kita akan melihat bahwa peserta didik kita adalah Bintang. Kedua, kita harus meruntuhkan barrier atau penghalang terhadap berbagai aktivtias yang ada dalam proses belajar. Bagaimanapun kondisi anak atau peserta didik kita, mereka adalah juara dan berhak atas pendidikan formal di sekolah.

  1. SAMUDRA, yaitu memahami kemampuan dalam arti luas, tidak terkotak-kotak dan hanya fokus pada satu ranah kemampuan sementara ranah lainnya tidak dilirik dan tidak mendapat di hati para guru dan orang tua. Kemampuan dalam diri peserta didik kita ada tiga:
a.      Akhlak-afektif atau bisa disebut respon adalah sebuah kemampuan, namun sedikit sekali yang mengakuinya.
b.      Kreativitas - psikomotorik adalah kemampuan menghasilkan sebuah karya, apapun itu.
c.       Kognitif, yang disalahartikan, dipersempit menjadi tes-tes tertulis dan dikelompokkan.

Salah satu saja dari 3 ranah kecerdasan tersebut dipenuhi maka setiap anak atau peserta didik sudah dapat dikatakan Cerdas. Masih banyak sekolah-sekolah di Indonesia yang masih memaksakan kehendak yang pada akhirnya akan memicu kemunduran akhlak dan kreativitas. Namun di institusi pendidikan Putra Indonesia Malang baik tingkat Akademi (Akfar dan Akafarma) maupun SMK menerapkan dan selalu terus menerus memperbaiki proses pembelajaran menuju pendidikan yang humanis dan ramah otak. Berhubungan dengan kognitif, ada beberapa syarat yang harus diterapkan yaitu:

a.      Raport harus berdasarkan pada nilai komprehensif 3 ranah.
b.      Adanya pameran produk, sebagai hasil dari ranah psikomotorik
c.       Tidak ada sistem ranking, sehingga tidak ada anak yang merasa dipermalukan ketika nama disebutkan dan dia tidak terdapat dalam daftar anak-anak dengan nilai memukau.

  1. HARTA KARUN, bahwa setiap anak atau peserta didik cerdas dengan multiple intelligence. Pak Munif meredefinisi kecerdasan yaitu kegiatan perilaku yang diulang-ulang. Ada dua ciri dalam bingkisan harta karun itu, keduanya adalah creative dengan cara membuat sesuatu yang baru dan juga dapat menyelesaikan masalah sendiri atau problem solving misalnya mengecat rumah, naik tangga sendiri, mau nyebrang, dll. Pada intinya, jika otak mendapat stimulus yang kurang tepat, maka tidak akan terjadi sebutan bahwa dia adalah anak bodoh. Menurut Munif Chatib, tidak ada manusia bodoh, yang ada hanyalah manusia yang tidak mendapat stimulus yang benar.
  2. PENYELAM (Discovery Ability), adalah bahwa pendidik harus menjelajahi kemampuan peserta didik meskipun sekecil debu. Beri apresiasi yang meriah meskipun hanya sebatas pujian, penghargaan dan lain-lain. Tapi terkadang pendidik kurang peka terhadap hal-hal positif, mereka lebih suka berkecimpung di ranah abu-abu.
  3. BAKAT (potensi, hobi, bakat, minat, niat, profesi). Bakat dapat terlihat dari kesukaan peserta didik kita. Ciri-ciri hobi yang menjadi profesi adalah ketika kita melihat usaha dan kesukaannya itu bisa dimanfaatkan atau berguna bagi orang lain.
Pada akhirnya, dalam bedah buku Gurunya Manusia, disampaikan pula bahwa gaya belajar guru atau pendidik harus disesuaikan dengan gaya belajar siswanya. Disesuaikan artinya kedua belah pihak, baik pendidik maupun peserta didik berusaha menyesuaikan diri. Gaya Mengajar Pendidik menyesuaikan Gaya Belajar peserta didik, peserta didik pun tidak boleh manja, dia harus berusaha menyesuaikan gaya belajarnya dengan gaya mengajar pendidik. Jika tidak demikian maka pelajaran akan terasa sulit.
Jika kelima bingkisan tersebut telah dipahami dan diterapkan, para pendidik pun dapat memperlakukan siswa sebagai manusia yang punya hak mendapatkan pendidikan yang layak. Sebaliknya, si pendidik akan dirindukan peserta didik hingga jadilah gurunya manusia.

Malang, 10 Des 2012
Meridianto

Kamis, 05 September 2013

Apakah Inputnya Sekolah Unggul harus Unggul..?

Benarkah sekolah unggul adalah sekolah yang memperhatikan kualitas input siswanya?. Konsep Multiple Intelligences (MI) adalah konsep sekolah yang humanis (memanusiakan manusia). Konsep MI menitikberatkan pada ranah keunikan setiap manusia. Sekolah dengan konsep MI selalu menemukan kelebihan setiap siswa sebagai individu manusia. Lebih jauh, konsep ini percaya bahwa tidak ada manusia yang bodoh sebab setiap manusia pasti memiliki minimal satu kelebihan. Apabila kelebihan tersebut dapat dideteksi sedari awal, otomatis kelebihan itu adalah potensi kepandaian manusia.

Atas dasar itu, seyogyanya sekolah menerima siswa barunya dalam kondisi apapun. Tugas sekolahlah meneliti kondisi siswa secara psikologis dengan cara mengetahui kecendrungan kecerdasan siswa melalui metode riset yang dinamakan Multiple Intelligences Research (MIR).

Oleh karena itu, pola penerimaan siswa baru bagi sekolah yang menerapkan Multiple Intelligences (MI) tidak menerapkan tes-tes formal untuk menyaring siswa. Jumlah siswa yang mendaftar sesuai dengan kapasitas siswa akan diterima. Apabila sebuah sekolah berkapasitas 125 siswa dalam penerimaan siswa barunya, ketika jumlah pendaftar telah mencapai 125 siswa, pendaftaran ditutup.

Berbeda sekali dengan pola umum sekolah di Indonesia yang membuka pendaftaran sebanyak-banyaknya, kemudian mengadakan tes seleksi. Misalnya, dari 300 pendaftar, yang diterima hanya 125 siswa. Siapakah 125 siswa tersebut? Pastinya mereka adalah siswa yang menduduki peringkat 1 sampai 125 dari 300 calon siswa atau mungkin yang mampu menyumbang dana dalam jumlah besar kepada sekolah.

Lalu, bagaimana nasib 175 siswa yang tidak lolos? Stigma sebagai orang yang gagal masuk sekolah favorit akan terus melekat seumur hidup dan membayang dalam pikiran selamanya. Pada dasarnya, sekolah unggul adalah sekolah yang humanis yaitu sekolah yang focus pada kualitas proses pembelajaran, bukan pada kualitas input siswanya. Kualitas proses pembelajaran bergantung pada kualitas para guru yang bekerja di sekolah tersebut. Apabila kualitas guru di sekolah tersebut baik, mereka akan berperan sebagai agen perubahan siswanya.

Sekolah unggul adalah sekolah yang para gurunya mampu menjamin semua siswa akan dibimbing ke arah perubahan lebih baik, bagaimanapun kualitas akademis dan moral yang mereka miliki. Dengan kata lain, sekolah yang guru-gurunya mampu mengubah kualitas akademis dan moral siswanya dari negative (dianggap bodoh dan nakal) menjadi positif, itulah sekolah unggul. (Sekolahnya Manusia, Munif Chatib, 2009).

Rabu, 11 April 2012

Kondisi Akhir Terbaik


Howard Gardner selalu memaparkan tiga hal yang berkaitan dengan MI seseorang, yaitu komponen inti, kompetensi, dan Kondisi Akhir Terbaik. Tiga hal yang disebutkan Gardner itu sangat berkaitan dengan dunia pendidikan. Setiap area otak yang disebut lobus of brain ternyata punya komponen inti berupa potensi kepekaan yang muncul dari setiap area otak apabila diberi stimulus yang tepat. Akibat adanya stimulus yang tepat, kepekaan inilah yang akan menghasilkan kompetensi. Dan apabila kompetensi tersebut dilatih terus-menerus dalam jenjang silabus yang tepat, dari kompetensi akan muncul kondisi akhir terbaik seseorang. Kondisi akhir terbaik inilah yang disebut kebanyakan orang “Profesi”. Namun jika stimulus yang diberikan tidak tepat, kompetensi tersebut tidak akan muncul menonjol atau hanya biasa-biasa saja.
Pendorong dan Penghambat Kecerdasan. Crystallizing experience dan paralyzing experiences adalah dua proses kunci dalam perkembangan kecerdasan. Pengalaman yang mengkristalkan (crystallizing experiences), konsep yang berasal dari David Feldman (1980) di Universitas Tufts dan dikembangkan lebih lanjut oleh Howard Gardner dan rekan-rekan sejawatnya (lihat Walters dan Gardner, 1986), adalah “titik balik” dalam perkembangan bakat dan kemampuan orang. Seringkali titik balik ini terjadi pada awal masa kanak-kanak meskipun dapat terjadi sepanjang hidup. Misalnya, ketika Albert Einstein berumur empat tahun, ayahnya menunjukkan kepada dia sebuah kompas magnetic. Saat dewasa, Einstein mengatakan kompas tersebut membuat dia ingin memecahkan misteri-misteri alam semesta. Intinya, pengalaman tersebut menggerakkan kegeniusan Einstein dan mengawali petualangannya menuju penemuan-penemuan yang akan menjadikan dia sebagai salah satu tokoh penting di dunia ilmu pengetahuan di abad 20.
Sebaliknya, Thomas Armstrong menggunakan istilah pengalaman yang melumpuhkan (paralyzing experiences) untuk menyebut pengalaman yang “mematikan” kecerdasan. Seorang guru mungkin mempermalukan anda di muka kelas ketika anda memamerkan karya seni terbaru anda pada saat pelajaran kesenian, dan peristiwa tersebut menjadi akhir dari perkembangan spasial anda. Orang tua anda mungkin marah-marah dan meminta anda “berhenti membuat barang-barang menjadi berantakan dengan bermain bola”, dan sejak saat itu anda tidak pernah lagi menyentuh bola. Atau mungkin anda dihukum karena membawa masuk koleksi daun anda “yang berantakan” ke rumah, tanpa mengindahkan semangat naturalis dalam diri anda. Pengalaman yang melumpuhkan sering kali dipenuhi perasaan malu, rasa bersalah, takut, kemarahan, dan emosi negative lain yang menghambat perkembangan dan pertumbuhan kecerdasan kita (Miller, 1981).
Dalam bukunya, Smart Baby, Clever Child, Valentine Dmitrev, Ph.D. mengatakan bahwa ada dua factor dalam perkembangan otak manusia yang menjadikan beberapa orang lebih pandai dari yang lain. Faktor itu adalah keturunan dan lingkungan. Tidak banyak yang bisa dilakukan orang tua untuk mengubah warisan gen seorang bayi, tetapi sangat banyak yang bisa  dilakukan untuk mengoptimalkan factor lingkungan guna meningkatkan potensi perkembangan anak.
Sekolah adalah salah satu lingkungan bagi siswa yang berperan aktif  dalam memberikan pengalaman yang melumpuhkan atau pengalaman yang mengkristalkan. Pengalaman yang mengkristalkan membuat siswa menerima stimulus yang tepat. Stimulus yang tepat akan menghasilkan kompetensi yang pada akhirnya akan memunculkan kondisi akhir terbaik seseorang.

Minggu, 29 Januari 2012

Tujuan Pendidikan (Bagian 2)

Pendidikan massal yang bersifat memaksa sebagian besar digagas dan dianjurkan pada abad ke-19. Alasan yang diberikan untuk melegitimasi pergolakan besar dalam kehidupan keluarga dan tradisi budaya ini, paling tidak ada tiga: untuk mencetak orang-orang yang baik, untuk mencetak warga negara yang baik, dan untuk membuat setiap orang menjadi dirinya yang terbaik.
Tujuan ini masih sering digembar-gemborkan secara teratur, dan kebanyakan dari kita menerima mereka sebagai definisi yang layak dari misi pendidikan publik, walaupun sekolah pada kenyataannya telah gagal dalam mencapai tujuan-tujuan itu. Namun kita pun salah dalam menerima definisi tersebut. Coba kita lihat buku Alexander Inglis yang terbit pada tahun 1918, Prinsip-Prinsip Pendidikan Menengah. Di dalamnya, Inglis menjelaskan bahwa wajib belajar di AS itu dimaksudkan untuk menjadi pilar kelima gerakan demokrasi yang mengancam akan memberikan petani dan kaum proletar hak suara di meja perundingan. Industri  wajib belajar modern ditujukan untuk memecah potensi rakyat kelas bawah ini untuk bersatu. sayatan bedah menjadi calon kesatuan underclasses ini. Pecah anak-anak ke dalam kelompok-kelompok menurut subyek, menurut usia, dengan tes pemeringkatan terus-menerus dan dengan banyak cara lain yang lebih halus, maka kecil kemungkinannya bagi kaum tidak terdidik ini, yang telah dipecah-pecah sejak anak-anak, untuk bergabung menjadi satu kesatuan yang berbahaya.
Inglis menjabarkan tujuan sebenarnya dari pendidikan modern menjadi enam fungsi dasar, di mana setiap tujuan ini cukup menggejutkan kita yang terlalu naif mempercayai definisi tradisional dari tujuan sekolah massal yang sudah disebutkan di awal tadi:

1.                  Fungsi adjustive/adaptif.
Sekolah bertujuan untuk membangun kebiasaan reaksi yang konstan terhadap otoritas. Ini, tentu saja, akan menghalangi penilaian kritis. Hal ini juga menghancurkan gagasan bahwa materi yang berguna atau menarik harus diajarkan, karena Anda tidak dapat menguji kepatuhan refleksif sampai Anda tahu apakah Anda dapat membuat anak-anak belajar, dan melakukan, hal-hal yang bodoh dan membosankan.
2.                  Fungsi integratif.
Ini mungkin juga bisa disebut “fungsi keseragaman,” karena tujuannya adalah untuk membuat anak-anak seseragam mungkin. Orang-orang yang seragam dapat diprediksi, dan ini tentu sangat berguna bagi mereka yang ingin memanfaatkan dan memanipulasi massa tenaga kerja yang besar.
3.                  Fungsi diagnostik dan direktif.
Sekolah dimaksudkan untuk menentukan peran sosial yang layak bagi setiap siswa. Hal ini dilakukan dengan cara menanamkan catatan-catatan matematis secara kumulatif pada “rapor” siswa dan pada pikiran mereka.
4.                  Fungsi pembeda.
Setelah peran sosial mereka telah “didiagnosis,” anak-anak harus diurutkan berdasarkan peran dan dilatih hanya sejauh tujuan mereka dalam mesin sosial – tidak lebih jauh dari itu. Hal ini menyanggah bahwa tujuan sekolah adalah untuk membuat setiap siswa menjadi dirinya yang terbaik.
5.                  Fungsi selektif.
Hal ini merujuk bukan pada pilihan manusia tapi pada teori Darwin mengenai seleksi alam sebagaimana diterapkan pada apa yang ia sebut “ras favorit.” Singkatnya, idenya adalah untuk secara sadar berupaya untuk meningkatkan kualitas stok peternakan. Sekolah dimaksudkan untuk menandai mereka yang “tidak layak” hidup di masyarakat – dengan cara memberi nilai yang jelek, penempatan remedial dan hukuman lain – dengan sebegitu jelas sehinga teman-teman mereka akan menganggap mereka sebagai inferior dan secara efektif menghalangi mereka dari “undian” reproduksi. Itulah maksud dari semua penghinaan kecil yang diterima siswa dari kelas pertama dan seterusnya: yaitu untuk menyingkirkan “sampah” masyarakat.
6.                  Fungsi propaedeutic.
Sistem sosial yang ditunjukkan oleh aturan-aturan ini akan memerlukan suatu kelompok pengasuh yang elit. Untuk itu, sebagian kecil anak-anak secara diam-diam akan diajarkan bagaimana mengelola proyek yang berkelanjutan ini, bagaimana untuk mengawasi dan mengendalikan populasi yang sengaja dibodohkan dan dimandulkan sehingga pemerintah dapat melaju tanpa tandingan dan perusahaan selalu menerima tenaga kerja yang patuh.

Kekayaan besar bisa dicapai dalam suatu perekonomian yang didasarkan pada produksi massal dan terorganisir untuk mendukung perusahaan besar, bukan usaha kecil atau pertanian keluarga. Namun produksi massal membutuhkan konsumsi massal, dan pada pergantian abad ke-20 kebanyakan orang Amerika menganggap adalah tidak wajar dan tidak bijaksana untuk membeli sesuatu lebih dari yang mereka butuhkan. Pendidikan publik yang diwajibkan adalah alat yang tepat untuk mengubah paradigma masyarakat ini. Sekolah tidak perlu mengarahkan anak-anak untuk secara langsung berpikir bahwa mereka harus mengkonsumsi tanpa henti, karena sekolah telah melakukan sesuatu yang lebih efektif: mendorong siswa untuk tidak berpikir sama sekali. Sekolah membuat siswa duduk seperti bebek yang lumpuh dan siap menerima penemuan besar lainnya di era modern ini, yaitu: Pemasaran.
Anda tidak perlu mempelajari pemasaran untuk mengetahui bahwa ada dua kelompok orang yang selalu dapat diyakinkan untuk mengkonsumsi lebih dari yang mereka butuhkan, yaitu para pecandu dan anak-anak. Sekolah telah melakukan pekerjaan yang cukup efektif untuk mengubah anak-anak kita menjadi pecandu, dan sekolah pun telah melakukan pekerjaan yang lebih spektakuler dalam mengubah anak-anak kita untuk tetap menjadi anak-anak seumur hidupnya. Sekali lagi, ini bukan ketidaksengajaan. Para pemikir, mulai dari Plato sampai Rousseau dan Dr. Inglis, telah mengetahui bahwa jika anak-anak bisa dikungkung dengan anak-anak lain, dilucuti dari tanggung jawab dan kemandirian, didorong untuk mengembangkan emosi-emosi remeh seperti keserakahan, iri hati, kecemburuan dan ketakutan, maka mereka akan tumbuh lebih tua tetapi tidak akan pernah menjadi dewasa.
Kedewasaan sekarang telah dibuang dari hampir setiap aspek kehidupan kita. Kemudahan kredit telah menghilangkan tanggung jawab tentang pentingnya pengendalian diri dalam mengelola keuangan; kemudahan mendapatkan hiburan telah menghilangkan pentingnya belajar untuk menghibur diri sendiri; jawaban yang remeh telah menghapus kebutuhan untuk mengajukan pertanyaan. Kita telah menjadi bangsa kanak-kanak, yang dengan senang hati menyerahkan penilaian kita dan kehendak kita pada nasihat politik dan bujukan komersial yang pasti akan membuat orang dewasa sejati menjadi terhina. Kita membeli televisi, dan kemudian kita membeli hal-hal yang kita lihat pada televisi itu. Kita membeli sepatu kets yang sangat mahal, entah kita sedang membutuhkannya atau tidak, dan ketika mereka mulai aus kita terlalu cepat membeli sepasang lagi. Kita mengendarai kendaraan SUV dan mempercayai kebohongan bahwa mereka merupakan semacam asuransi jiwa (karena “aman”), bahkan ketika kita “jungkir balik” karenanya.
Sekarang kabar baiknya. Setelah Anda memahami logika di belakang sekolah modern, segala trik dan jebakannya sebenarnya cukup mudah untuk dihindari. Sekolah melatih anak-anak untuk menjadi karyawan dan konsumen; Ajarkan anak-anak Anda sendiri untuk menjadi pemimpin dan petualang. Sekolah melatih anak-anak untuk secara naluri menjadi patuh; ajarkan anak-anak Anda sendiri untuk berpikir kritis dan mandiri. Anak-anak yang dididik di sekolah memiliki ambang batas yang rendah dalam menghadapi kebosanan; bantu Anda sendiri untuk mengembangkan kehidupan batin dan pribadi yang benar-benar “hidup” sehingga mereka tidak akan pernah bosan. Dorong mereka untuk mengambil bahan-bahan serius atau materi “orang dewasa”, seperti sejarah, sastra, filsafat, musik, seni, ekonomi, teologi – yang biasanya dihindari oleh guru. Tantang anak-anak Anda dengan banyak kesendirian sehingga mereka belajar untuk menikmati diri mereka sendiri dan melakukan dialog batin. Orang-orang terdidik di sekolah dikondisikan untuk takut hidup sendirian, dan mencari persahabatan konstan melalui TV, komputer, telepon seluler, dan juga melalui persahabatan dangkal yang dengan cepat diperoleh dan dengan cepat pula ditinggalkan. Anak-anak Anda harus memiliki kehidupan yang lebih bermakna.
Namun, kita terlebih dahulu harus bangun dan memandang sekolah seperti apa mereka adanya, yaitu: laboratorium eksperimen untuk anak-anak muda, pusat latihan untuk kebiasaan dan sikap yang dituntut oleh korporasi. Pendidikan wajib hanya sesekali melayani anak-anak; tujuan sebenarnya adalah untuk mengubahnya menjadi pelayan. Jangan biarkan anak-anak Anda diperpanjang masa kecilnya, tidak bahkan untuk satu hari saja.
Entah apa yang anak-anak Anda sendiri dapat lakukan bila kita bebaskan potensinya. Setelah menghabiskan 30 tahun di dunia persekolahan, saya telah menyimpulkan bahwa kejeniusan sesungguhnya bertebaran di mana-mana. Kita menahan kejeniusan pada anak-anak kita hanya karena kita belum tahu bagaimana mengelola populasi manusia yang berpendidikan. Solusinya, saya pikir, begitu sederhana dan mulia. Biarkan mereka mengatur diri mereka sendiri.
Artikel di atas cukup memberikan gambaran kepada kita tentang tujuan pendidikan di Amerika yang tidak berbeda jauh dengan kenyataan yang terjadi di Indonesia. Sebagai sekolah yang mendidik manusia seharusnya sekolah tetap focus pada tujuan pendidikan yang benar yaitu memanusiakan manusia dan berusaha semaksimal mungkin melepaskan diri dari pengaruh situasi dan kondisi politik praktis yang berkembang. Sekolah adalah Agent of Change yaitu agen pengubah yang mengubah orang-orang menjadi bertanggung jawab dan mandiri, dan mengubah setiap orang menjadi dirinya yang terbaik.

Tujuan Pendidikan (Bagian 2)

Pendidikan massal yang bersifat memaksa sebagian besar digagas dan dianjurkan pada abad ke-19. Alasan yang diberikan untuk melegitimasi pergolakan besar dalam kehidupan keluarga dan tradisi budaya ini, paling tidak ada tiga: untuk mencetak orang-orang yang baik, untuk mencetak warga negara yang baik, dan untuk membuat setiap orang menjadi dirinya yang terbaik.
Tujuan ini masih sering digembar-gemborkan secara teratur, dan kebanyakan dari kita menerima mereka sebagai definisi yang layak dari misi pendidikan publik, walaupun sekolah pada kenyataannya telah gagal dalam mencapai tujuan-tujuan itu. Namun kita pun salah dalam menerima definisi tersebut. Coba kita lihat buku Alexander Inglis yang terbit pada tahun 1918, Prinsip-Prinsip Pendidikan Menengah. Di dalamnya, Inglis menjelaskan bahwa wajib belajar di AS itu dimaksudkan untuk menjadi pilar kelima gerakan demokrasi yang mengancam akan memberikan petani dan kaum proletar hak suara di meja perundingan. Industri  wajib belajar modern ditujukan untuk memecah potensi rakyat kelas bawah ini untuk bersatu. sayatan bedah menjadi calon kesatuan underclasses ini. Pecah anak-anak ke dalam kelompok-kelompok menurut subyek, menurut usia, dengan tes pemeringkatan terus-menerus dan dengan banyak cara lain yang lebih halus, maka kecil kemungkinannya bagi kaum tidak terdidik ini, yang telah dipecah-pecah sejak anak-anak, untuk bergabung menjadi satu kesatuan yang berbahaya.
Inglis menjabarkan tujuan sebenarnya dari pendidikan modern menjadi enam fungsi dasar, di mana setiap tujuan ini cukup menggejutkan kita yang terlalu naif mempercayai definisi tradisional dari tujuan sekolah massal yang sudah disebutkan di awal tadi:

1.                  Fungsi adjustive/adaptif.
Sekolah bertujuan untuk membangun kebiasaan reaksi yang konstan terhadap otoritas. Ini, tentu saja, akan menghalangi penilaian kritis. Hal ini juga menghancurkan gagasan bahwa materi yang berguna atau menarik harus diajarkan, karena Anda tidak dapat menguji kepatuhan refleksif sampai Anda tahu apakah Anda dapat membuat anak-anak belajar, dan melakukan, hal-hal yang bodoh dan membosankan.
2.                  Fungsi integratif.
Ini mungkin juga bisa disebut “fungsi keseragaman,” karena tujuannya adalah untuk membuat anak-anak seseragam mungkin. Orang-orang yang seragam dapat diprediksi, dan ini tentu sangat berguna bagi mereka yang ingin memanfaatkan dan memanipulasi massa tenaga kerja yang besar.
3.                  Fungsi diagnostik dan direktif.
Sekolah dimaksudkan untuk menentukan peran sosial yang layak bagi setiap siswa. Hal ini dilakukan dengan cara menanamkan catatan-catatan matematis secara kumulatif pada “rapor” siswa dan pada pikiran mereka.
4.                  Fungsi pembeda.
Setelah peran sosial mereka telah “didiagnosis,” anak-anak harus diurutkan berdasarkan peran dan dilatih hanya sejauh tujuan mereka dalam mesin sosial – tidak lebih jauh dari itu. Hal ini menyanggah bahwa tujuan sekolah adalah untuk membuat setiap siswa menjadi dirinya yang terbaik.
5.                  Fungsi selektif.
Hal ini merujuk bukan pada pilihan manusia tapi pada teori Darwin mengenai seleksi alam sebagaimana diterapkan pada apa yang ia sebut “ras favorit.” Singkatnya, idenya adalah untuk secara sadar berupaya untuk meningkatkan kualitas stok peternakan. Sekolah dimaksudkan untuk menandai mereka yang “tidak layak” hidup di masyarakat – dengan cara memberi nilai yang jelek, penempatan remedial dan hukuman lain – dengan sebegitu jelas sehinga teman-teman mereka akan menganggap mereka sebagai inferior dan secara efektif menghalangi mereka dari “undian” reproduksi. Itulah maksud dari semua penghinaan kecil yang diterima siswa dari kelas pertama dan seterusnya: yaitu untuk menyingkirkan “sampah” masyarakat.
6.                  Fungsi propaedeutic.
Sistem sosial yang ditunjukkan oleh aturan-aturan ini akan memerlukan suatu kelompok pengasuh yang elit. Untuk itu, sebagian kecil anak-anak secara diam-diam akan diajarkan bagaimana mengelola proyek yang berkelanjutan ini, bagaimana untuk mengawasi dan mengendalikan populasi yang sengaja dibodohkan dan dimandulkan sehingga pemerintah dapat melaju tanpa tandingan dan perusahaan selalu menerima tenaga kerja yang patuh.

Kekayaan besar bisa dicapai dalam suatu perekonomian yang didasarkan pada produksi massal dan terorganisir untuk mendukung perusahaan besar, bukan usaha kecil atau pertanian keluarga. Namun produksi massal membutuhkan konsumsi massal, dan pada pergantian abad ke-20 kebanyakan orang Amerika menganggap adalah tidak wajar dan tidak bijaksana untuk membeli sesuatu lebih dari yang mereka butuhkan. Pendidikan publik yang diwajibkan adalah alat yang tepat untuk mengubah paradigma masyarakat ini. Sekolah tidak perlu mengarahkan anak-anak untuk secara langsung berpikir bahwa mereka harus mengkonsumsi tanpa henti, karena sekolah telah melakukan sesuatu yang lebih efektif: mendorong siswa untuk tidak berpikir sama sekali. Sekolah membuat siswa duduk seperti bebek yang lumpuh dan siap menerima penemuan besar lainnya di era modern ini, yaitu: Pemasaran.
Anda tidak perlu mempelajari pemasaran untuk mengetahui bahwa ada dua kelompok orang yang selalu dapat diyakinkan untuk mengkonsumsi lebih dari yang mereka butuhkan, yaitu para pecandu dan anak-anak. Sekolah telah melakukan pekerjaan yang cukup efektif untuk mengubah anak-anak kita menjadi pecandu, dan sekolah pun telah melakukan pekerjaan yang lebih spektakuler dalam mengubah anak-anak kita untuk tetap menjadi anak-anak seumur hidupnya. Sekali lagi, ini bukan ketidaksengajaan. Para pemikir, mulai dari Plato sampai Rousseau dan Dr. Inglis, telah mengetahui bahwa jika anak-anak bisa dikungkung dengan anak-anak lain, dilucuti dari tanggung jawab dan kemandirian, didorong untuk mengembangkan emosi-emosi remeh seperti keserakahan, iri hati, kecemburuan dan ketakutan, maka mereka akan tumbuh lebih tua tetapi tidak akan pernah menjadi dewasa.
Kedewasaan sekarang telah dibuang dari hampir setiap aspek kehidupan kita. Kemudahan kredit telah menghilangkan tanggung jawab tentang pentingnya pengendalian diri dalam mengelola keuangan; kemudahan mendapatkan hiburan telah menghilangkan pentingnya belajar untuk menghibur diri sendiri; jawaban yang remeh telah menghapus kebutuhan untuk mengajukan pertanyaan. Kita telah menjadi bangsa kanak-kanak, yang dengan senang hati menyerahkan penilaian kita dan kehendak kita pada nasihat politik dan bujukan komersial yang pasti akan membuat orang dewasa sejati menjadi terhina. Kita membeli televisi, dan kemudian kita membeli hal-hal yang kita lihat pada televisi itu. Kita membeli sepatu kets yang sangat mahal, entah kita sedang membutuhkannya atau tidak, dan ketika mereka mulai aus kita terlalu cepat membeli sepasang lagi. Kita mengendarai kendaraan SUV dan mempercayai kebohongan bahwa mereka merupakan semacam asuransi jiwa (karena “aman”), bahkan ketika kita “jungkir balik” karenanya.
Sekarang kabar baiknya. Setelah Anda memahami logika di belakang sekolah modern, segala trik dan jebakannya sebenarnya cukup mudah untuk dihindari. Sekolah melatih anak-anak untuk menjadi karyawan dan konsumen; Ajarkan anak-anak Anda sendiri untuk menjadi pemimpin dan petualang. Sekolah melatih anak-anak untuk secara naluri menjadi patuh; ajarkan anak-anak Anda sendiri untuk berpikir kritis dan mandiri. Anak-anak yang dididik di sekolah memiliki ambang batas yang rendah dalam menghadapi kebosanan; bantu Anda sendiri untuk mengembangkan kehidupan batin dan pribadi yang benar-benar “hidup” sehingga mereka tidak akan pernah bosan. Dorong mereka untuk mengambil bahan-bahan serius atau materi “orang dewasa”, seperti sejarah, sastra, filsafat, musik, seni, ekonomi, teologi – yang biasanya dihindari oleh guru. Tantang anak-anak Anda dengan banyak kesendirian sehingga mereka belajar untuk menikmati diri mereka sendiri dan melakukan dialog batin. Orang-orang terdidik di sekolah dikondisikan untuk takut hidup sendirian, dan mencari persahabatan konstan melalui TV, komputer, telepon seluler, dan juga melalui persahabatan dangkal yang dengan cepat diperoleh dan dengan cepat pula ditinggalkan. Anak-anak Anda harus memiliki kehidupan yang lebih bermakna.
Namun, kita terlebih dahulu harus bangun dan memandang sekolah seperti apa mereka adanya, yaitu: laboratorium eksperimen untuk anak-anak muda, pusat latihan untuk kebiasaan dan sikap yang dituntut oleh korporasi. Pendidikan wajib hanya sesekali melayani anak-anak; tujuan sebenarnya adalah untuk mengubahnya menjadi pelayan. Jangan biarkan anak-anak Anda diperpanjang masa kecilnya, tidak bahkan untuk satu hari saja.
Entah apa yang anak-anak Anda sendiri dapat lakukan bila kita bebaskan potensinya. Setelah menghabiskan 30 tahun di dunia persekolahan, saya telah menyimpulkan bahwa kejeniusan sesungguhnya bertebaran di mana-mana. Kita menahan kejeniusan pada anak-anak kita hanya karena kita belum tahu bagaimana mengelola populasi manusia yang berpendidikan. Solusinya, saya pikir, begitu sederhana dan mulia. Biarkan mereka mengatur diri mereka sendiri.
Artikel di atas cukup memberikan gambaran kepada kita tentang tujuan pendidikan di Amerika yang tidak berbeda jauh dengan kenyataan yang terjadi di Indonesia. Sebagai sekolah yang mendidik manusia seharusnya sekolah tetap focus pada tujuan pendidikan yang benar yaitu memanusiakan manusia dan berusaha semaksimal mungkin melepaskan diri dari pengaruh situasi dan kondisi politik praktis yang berkembang. Sekolah adalah Agent of Change yaitu agen pengubah yang mengubah orang-orang menjadi bertanggung jawab dan mandiri, dan mengubah setiap orang menjadi dirinya yang terbaik.

Jumat, 20 Januari 2012

Tujuan Pendidikan (Bagian 1)

John Taylor Gatto adalah seorang pensiunan guru. Artikel ini adalah kutipan dari bukunya,Weapons of Mass Instruction: A Schoolteacher’s Journey through the Dark World of Compulsory Schooling, diterbitkan oleh New Society di bulan Oktober 2008. “Sekolah melatih anak-anak untuk tetap menjadi anak-anak sepanjang hidup mereka”, begitulah pernyataan John Taylor Gatto dalam bukunya. Ada cara lain: “Ajarkan mereka untuk menjadi pemimpin dan petualang”.
Saya mengajar selama 30 tahun di beberapa sekolah terburuk di New York City, dan juga di beberapa sekolah terbaik, dan selama waktu itu saya menjadi pakar mengenai kebosanan. Kebosanan bertebaran di mana-mana, dan jika Anda bertanya kepada para siswa, seperti yang sering kulakukan, mengapa mereka merasa begitu bosan, mereka selalu memberikan jawaban yang sama: Pekerjaan yang diberikan kepada mereka itu bodoh, tidak masuk akal, dan mereka sudah tahu mengenai hal itu. Mereka ingin melakukan sesuatu yang nyata, bukan hanya duduk-duduk. Teachers didn’t seem to know much about their subjects and weren’t interested in learning more. Para guru tampaknya tidak tahu banyak tentang subjek dan tidak tertarik untuk belajar lebih banyak. Dan para siswa itu benar: para guru itu pun sama bosannya seperti mereka.
Kebosanan adalah kondisi umum para guru di sekolah, dan siapa saja yang telah menghabiskan waktu dalam ruang guru dapat melihat hal-hal seperti energi rendah, rengekan, dan sikap yang tidak bersemangat ditemukan di sana. Ketika ditanya mengapa mereka bosan, guru cenderung menyalahkan para siswa. Siapa yang tidak bosan mengajar siswa yang tidak sopan dan hanya berfokus pada nilai? Tentu saja, guru sendiri sebenarnya adalah produk yang sama tahun program sekolah 12 tahun yang benar-benar membentuk siswa mereka, dan sebagai personel sekolah, mereka terjebak di dalam struktur yang bahkan lebih kaku daripada yang struktur yang dipaksakan kepada para siswa. Siapa kemudian yang bisa disalahkan?
Kita semua. Kakek saya lah yang mengajari hal tersebut. Suatu sore saat aku masih berumur tujuh tahun, aku mengeluh bosan padanya, dan ia memukulku dengan keras di kepala. Dia mengatakan bahwa saya tidak boleh menggunakan istilah tersebut di hadapannya lagi, bahwa jika saya merasa bosan itu adalah kesalahan saya sendiri dan bukan orang lain. Kewajiban untuk menghibur dan menginstruksikan diri saya sepenuhnya berada pada diri saya sendiri, katanya, dan mereka yang tidak tahu mengenai hal ini adalah orang yang kekanak-kanakan dan harus dihindari jika mungkin.
Kejadian itu menyembuhkan rasa bosan saya selamanya, dan selama bertahun-tahun aku bisa menyampaikan pelajaran tersebut kepada beberapa siswa yang luar biasa. Namun seringkali, saya merasa tidak ada harapan untuk menantang “kesepakatan umum” bahwa kebosanan dan sifat kekanak-kanakan adalah keadaan alami di dalam kelas. Sering kali saya harus menentang kebiasaan, dan bahkan membengkokkan hukum, untuk membantu anak-anak keluar dari perangkap ini.
Pada saat saya pensiun pada tahun 1991, saya punya lebih dari cukup alasan untuk berpikir bahwa sistem sekolah kita – dengan gaya pengurungan paksa dan berjangka panjang seperti pada penjara – adalah pabrik virtual sifat kekanak-kanakan. Dan sejujurnya saya tidak bisa mengerti mengapa mereka harus seperti itu. Pengalaman saya sendiri telah mengajarkan kepada saya apa yang pasti banyak dipelajari para guru lain juga (namun mereka rahasiakan untuk diri mereka sendiri karena takut mendapat celaan): Jika kita mau, kita dapat dengan mudah dan murah membuang yang struktur pendidikan yang kuno dan bodoh, serta membantu para siswa benar-benar mendapatkan pendidikan dan bukan hanya menerima pengajaran. Kita dapat mendorong kualitas terbaik yang dimiliki para pemuda, yaitu: rasa ingin tahu, petualangan, keuletan, kemampuan untuk memunculkan wawasan yang mengejutkan, dengan cara menjadi lebih fleksibel soal waktu, teks dan tes, memperkenalkan para siswa kepada para orang dewasa yang benar-benar kompeten, dan memberikan otonomi sebanyak yang dibutuhkan kepada para siswa untuk mengambil risiko.
Kita selalu diajarkan (atau lebih tepatnya, “disekolahkan”) untuk berpikir bahwa “kesuksesan” bersinonim dengan, atau setidaknya tergantung pada, “sekolah”.  Namun secara historis hal ini adalah tidak benar baik dalam pengertian kesuksesan intelektual maupun finansial. Banyak orang di seluruh dunia menemukan cara untuk mendidik diri sendiri tanpa bergantung pada sistem sekolah standar yang seringkali menyerupai penjara. Lalu mengapa kita mengacaukan pendidikan dengan sistem seperti ini? Apa sebenarnya tujuan sistem sekolah saat ini?
(bersambung..)

Selasa, 10 Januari 2012

Paradigma Kecerdasan (Bagian 3)

A. THOMAS ARMSTRONG
Thomas Armstrong yang berasal dari latar belakang pendidikan khusus adalah salah satu pendidik pertama yang menerjemahkan teori Multiple Intelligences. Armstrong berusaha menerjemahkan teori Multiple Intelligences, yang semula dalam ranah psikologi, ke dalam ranah pendidikan. Armstrong memasukkan sentuhan-sentuhannya sendiri: petunjuk adanya “Pengalaman yang melumpuhkan”, yang melengkapi konsep Joseph Walter dan Gardner tentang “Pengalaman yang mengkristalkan”; anjurannya untuk menggunakan kenakalan-kenakalan siswa sebagai petunjuk pengembangan kecerdasan mereka; saran-saran informal tentang cara melibatkan siswa dalam proses penilaian kecerdasan mereka sendiri dan cara mengelola kelas dengan pendekatan Multiple Intelligences.


Selama empat belas tahun Armstrong mencoba menerapkan teori Multiple Intelligences Howard Gardner dalam persoalan-persoalan dasar mengajar di kelas. Dia mulai tertarik pada teori Multiple Intelligences pada 1985, saat menyadari teori ini memungkinkan kita berbicara tentang bakat alami anak-anak, terutama mereka yang dicap sebagai anak yang bermasalah dalam belajar di sekolah (Armstrong, 1987). Pada 1970-an sampai 1980-an, sebagai seorang spesialis yang menangani siswa yang mengalami kesulitan belajar, dia mulai terdorong untuk meninggalkan model yang disebutnya paradigma deficit dalam pendidikan khusus. Dia ingin mengembangkan sebuah model baru berdasarkan pada hal yang dilihatnya sebagai ragam-bakat para siswa yang dianggap “cacat”.
Sejak penerbitan bukunya Howard Gardner, Frames of Mind pada 1983, kesadaran pendidik tentang teori Multiple Intelligences berkembang pesat. Dari sebuah model yang semula popular terutama di bidang pendidikan khusus dan sekolah-sekolah serta guru-guru di kalangan terbatas di Amerika Serikat pada 1980-an, teori Multiple Intelligences meluas hingga menjangkau ratusan distrik sekolah, ribuan sekolah, puluhan ribu guru di Amerika Serikat, serta di berbagai Negara lain pada 1990-an. Para pendidik menerapkan konsep-konsep Multiple Intelligences dalam banyak hal, mulai dari program untuk anak-anak (Merrefield, 1997) sampai sekolah tinggi (Diaz-Lefebvre & Finnegan, 1997), bahkan di panti penampungan gelandangan (Taylor-King, 1997).

B. MUNIF CHATIB

Munif Chatib adalah seorang tokoh pendidikan yang sangat aktif memperjuangkan teori Multiple Intelligences agar dapat diterapkan pada sistem pendidikan di Indonesia. Pada tahun 1998-1999, Chatib menyelesaikan studi Distance Learning di Superchamp Oceanside California USA yang dipimpin oleh Bobbi DePoorter. Dari 73 lulusan alimni pertama tersebut, beliau menduduki peringkat ke-5 dan satu-satunya lulusan dari Indonesia.
Kemudian, sampai dengan tahun 2007, Chatib, dengan bimbingan Howard Gardner telah mengembangkan penelitian tentang MIR (Multiple Intelligences Research) agar dapat diterapkan di Indonesia. MIR adalah instrument riset yang dapat memberikan deskripsi tentang kecendrungan kecerdasan seseorang. Dari analisis terhadap kecendrungan kecerdasan tersebut, dapat disimpulkan gaya belajar terbaik bagi seseorang. Setiap guru harus menyesuaikan gaya mengajarnya dengan gaya belajar siswa yang telah diketahui dari hasil MIR. MIR yang dilakukan secara berkala terhadap seseorang dalam hubungannya dengan proses belajar mengajar akan menjadi akselerator baginya untuk menemukan kondisi terbaik.
J.K.  Rowling (Penulis novel fiksi Harry Potter) menemukan kondisi akhir terbaiknya pada usia 43 tahun sehingga menjadikan dia sebagai wanita terkaya sedunia 2007 (majalah Forbes). Namun, ada juga sebagian orang berhasil menemukan kondisi akhir terbaiknya sejak dini, misalkan pada umur 5 tahun atau bahkan lebih awal. Dengan MIR yang dilakukan secara rutin (minimal setiap tahun), setiap siswa memiliki data riwayat kecerdasan yang memungkinkan seseorang lebih cepat menemukan kondisi akhir terbaiknya.


Tabel : Anak dengan kondisi akhir terbaik di awal usia

NO
Nama dan Asal Negara
Kecerdasan
Kondisi Akhir Terbaik dan Umurnya
1
Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’I (iran)
Spasial-Visual
Hafal Al Quran beserta maknanya dengan metode photocopy memory (5 Tahun)
Gelar doctor kehormatan dari universitas di Inggris (7 tahun)
2
Alia Sabur (Amerika Serikat)
Linguistik
Musikal
Mulai membaca dan bicara (umur 8 Bulan)
Konser Solo Mozart Concerto (umur 11 tahun)
3
Ghefira Nurfatimah (Indonesia)
Linguistik
Pemegang rekor MURI untuk penulis termuda Indonesia (kelas 2 SD)

4
Maria Audrey Lukito (Indonesia)
Linguistik
Sarjana Termuda Indonesia (16 Tahun)
Anak usia termuda (14 tahun) dari Indonesia yang menguasai 3 bahasa asing: Inggris (TOEFL:670), Prancis (Lulus DELF A3), dan Rusia (dari University of Virginia)
Peserta termuda (14 tahun) dari Indonesia dengan nilai tinggi (670) untuk ujian TOEFL
Mahasiswi termuda (13 tahun) dari Indonesia yang masuk perguruan tinggi di Amerika (Mary Baldwin College)
5
Jeane Phialsa (Alsa) (Indonesia)
Musikal
Drumer professional termuda Indonesia (7 tahun)

Bersambung...

Jumat, 06 Januari 2012

Paradigma Kecerdasan (Bagian 2)

                      MULTIPLE INTELIGENCE:  HOWARD GARDNER


Hampir delapan puluh tahun setelah dikembangkannya tes IQ, psikolog Harvard, Howard Gardner mempersoalkan pengertian kecerdasan yang diyakini masyarakat selama ini. Dia mengatakan bahwa penafsiran kecerdasan di kebudayaan kita terlalu sempit. Sebagai gantinya, dalam bukunya Frames of Mind (Gardner, 1983) dia mengemukakan sekurang-kurangnya ada tujuh kecerdasan dasar.  Belum lama berselang, dia menambahkan kecerdasan kedelapan dan kemungkinan adanya kecerdasan yang kesembilan (Gardner, 1999). Dengan teori kecerdasan majemuk, Gardner berusaha memperluas lingkup potensi manusia melampaui batas nilai IQ. Dengan serius dia mempertanyakan keabsahan penilaian kecerdasan individu melalui tes-tes yang dilakukan di luar lingkungan belajar alamiah dan yang dilakukan dengan meminta seseorang melakukan tindakan terisolasi yang belum pernah ia lakukan sebelumnya - dan mungkin, tidak akan pernah ia lakukan lagi. Sebagai gantinya, Gardner menyatakan bahwa kecerdasan lebih berkaitan dengan kapasitas (1) memcahkan masalah dan (2) menciptakan produk di lingkungan yang kondusif dan alamiah.
Gardner memetakan lingkup kemampuan manusia yang luas menjadi delapan kategori yang komprehensif atau delapan “kecerdasan dasar”.
Kecerdasan Linguistik. Kemampuan menggunakan kata secara efektif, baik secara lisan (misalnya, pendongeng, orator, atau politisi) maupun tertulis (misalnya, sastrawan, drama, editor, wartawan).
Kecerdasan Matematis-Logis. Kemampuan menggunakan angka dengan baik (misalnya, ahli matematika, akuntan pajak, ahli statistic) dan melakukan penalaran yang benar (misalnya, sebagai ilmuwan, pemrograman computer, atau ahli logika).
Kecerdasan Spasial. Kemampuan mempersepsi dunia spasial-visual secara akurat (misalnya, sebagai pemburu, pramuka, pemandu) dan mentarsformasikan persepsi dunia spasial-visual tersebut (misalnya, decorator interior, arsitek, seniman atau penemu).
Kecerdasan Kinestik­-Jasmani. Kemampuan menggunakan seluruh tubuh untuk mengekspresikan ide dan perasaan (misalnya, sebagai actor, pemain pantomime, atlet, atau penari) dan keterampilan menggunakan tangan untuk menciptakan atau mengubah sesuatu (misalnya, sebagai pengrajin, pematung, ahli mekanik, dokter bedah).
Kecerdasan Musikal. Kemampuan menangani bentuk-bentuk musical, dengan mempersepsi (misalnya, sebagai kritikus music), membedakan (misalnya, sebagai kritikus music), menggubah (misalnya, composer), dan mengekspresikan (misalnya, sebagai penyanyi).
Kecerdasan Interpersonal. Kemampuan memersepsi dan membedakan suasana hati, maksud, motivasi, serta perasaan orang lain.
Kecerdasan Intrapersonal. Kemampuan memahami diri sendiri dan bertindak berdasarkan pemahaman tersebut.
Kecerdasan Naturalis. Keahlian mengenali dan mengategorikan species-flora dan fauna- di lingkungan sekitar.

Tabel: Kecerdasan dan Kondisi Akhir Terbaik
Kecerdasan
Komponen Inti
Kondisi Akhir Terbaik
Linguistik
Kepekaan pada bunyi, struktur, makna, fungsi
Penulis, orator (misalnya, Virginia Woolf Jr., Martin Luther King, Helen Keller, Agatha Christie, Sapardi Joko Damono)
Matematis-Logis
Kecerdasan dan kapasitas mencerna pola-pola logis atau numeris; kemampuan mengolah alur pemikiran yang panjang.
Ilmuwan, ahli matematika (misalnya, Madame Currie, Blaise Pascal, Bill Gates, Habibie)
Spasial
Kepekaan memersepsi (merasakan) dunia spasial-visual secara akurat dan mentransformasi persepsi awal.
Seniman, Arsitek (misalnya, Frida Kahlo, I.M. Pei, Joko Pekik, Garin Nugroho)
Kinestis-Jasmani
Kemampuan mengontrol gerak tubuh dan kemahiran mengelola objek.
Penari, atlet, pematung (misalnya, Martha Graham, Auguste Rodin, Maradona, Susi Susanti, Gusmiati said)
Musikal
Kemampuan menciptakan dan mengapresiasi irama, pola titinada, dan warna nada; apresiasi bentuk-bentuk ekspresi musical.
Composer dan penyanyi (misalnya, Stevie Wonder, Midori, Ramona Purba, Asep Irama)
Interpersonal
Kemampuan mencerna dan merespons secara tepat suasana hati, temperamen, motivasi, dan keinginan orang lain.
Konselor dan pemimpin politik (misalnya, Carl Rogers, Nelson Mandela, Margaret Thatcher, Indira Gandhi, Soekarno)
Intrapersonal
Memahami perasaan sendiri dan kemampuan membedakan emosi; pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan diri.
Psikoterapis, pemimpin keagamaan (misalnya, Sigmund Freud, Buddha)
Naturalis
Keahlian membedakan anggota-anggota suatu spesies; mengenali eksistensi spesies lain; dan memetakan hubungan antara beberapa spesies, baik secara informal maupun formal.
Peneliti Alam, ahli biologi, aktivis binatang (misalnya, Charles Darwin, E.O. Wilson, Jane Goodall, Louis Pasteur)

Di samping pembahasan kedelapan kecerdasan, beberapa poin-poin kunci tentang  model teori Multiple Intelligences (MI) yang juga perlu diperhatikan:
1.      Setiap orang memiliki kedelapan kecerdasan. Teori MI bukanlah “teori jenis” untuk menentukan satu kecerdasan yang sesuai. Teori ini adalah teori fungsi kognitif, yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki kapasitas dalam kedelapan kecerdasan tersebut. Kedelapan kecerdasan tersebut berfungsi berbarengan dengan cara yang berbeda-beda pada diri setiap orang. Beberapa orang memiliki tingkatan yang sangat tinggi pada semua atau hampir semua kecerdasan - misalnya, penyair - negarawan -  ilmuwan - naturalis - filsuf Jerman Johann Wolfgang von Goethe. Sebagian yang lain, seperti yang ada di lembaga - lembaga keterbelakangan mental, tampaknya memiliki kekurangan dalam semua aspek kecerdasan, kecuali aspek kecerdasan yang paling mendasar. Secara umum, kita berada di antara dua kutub ini - sangat berkembang dalam sejumlah kecerdasan, cukup berkembang dalam kecerdasan tertentu, dan relative agak terbelakang dalam kecerdasan yang lain.
2.      Orang pada umumnya dapat mengembangkan setiap kecerdasan sampai pada tingkat penguasaan yang memadai. Meskipun mungkin orang akan menyesali kekurangan di wilayah kecerdasan tertentu dan menganggap masalah ini sebagai masalah masalah bawaan dan tidak dapat diubah, Gardner berpendapat bahwa setiap orang sebenarnya memiliki kemampuan mengembangkan kedelapan kecerdasan sampai pada kinerja tingkat tinggi yang memadai apabila ia memperoleh cukup dukungan, pengayaan, dan pengajaran.
3.      Kecerdasan-kecerdasan umumnya bekerja bersamaan dengan cara yang kompleks. Gardner menunjukkan bahwa setiap kecerdasan yang telah dibahas di muka sebenarnya hanyalah “rekaan”; yakni, tidak ada kecerdasan yang berdiri sendiri dalam kehidupan sehari-hari (kecuali mungkin untuk kasus yang amat langka pada diri savant dan orang yang mengalami cidera otak). Kecerdasan selalu berinteraksi satu sama lain.
4.      Ada banyak cara untuk menjadi cerdas dalam setiap kategori. Tidak ada rangkaian atribut standar yang harus dimiliki seseorang untuk dapat disebut cerdas dalam wilayah tertentu. Oleh karena itu, orang mungkin saja tidak dapat membaca, tetapi memiliki kecerdasan linguistic yang tinggi karena ia dapat menyampaikan cerita memukau atau memiliki kosa kata lisan yang luas. Demikian pula, orang mungkin tampak canggung ketika berada di lapangan olah raga, tetapi memiliki kecerdasan kinestik-jasmani yang luar biasa ketika ia merajut karpet atau membuat papan catur yang indah.(Multiple Intelligences in the Classroom, hal. 16-17, Thomas Armstrong, 2000). 
Bersambung ke http://kecerdasanmanusia.blogspot.com/2012/01/paradigma-kecerdasan-bagian-3.html
B