Multiple Inteligence adalah wacana baru tentang kecerdasan. Pemahaman makna kecerdasan merupakan awal dari aplikasi banyak hal yang terkait dalam diri manusia, terutama dalam dunia pendidikan. Kesepakatan atas paradigma dan makna tentang kecerdasan selanjutnya menjadi awal penyusunan dan aplikasi sebuah sistem pendidikan.
Apakah yang dimaksud kecerdasan?. Sejak beratus-ratus tahun yang lalu manusia berusaha memahami makna kecerdasan. Teori kecerdasan terus berkembang, mulai dari Plato, Aristoteles, Darwin, Alfred Binet, Stanberg, Piaget, sampai yang terakhir adalah Howard Gardner.
Teori kecerdasan mengalami puncak perubahan paradigma pada 1983 saat Dr. Howard Gardner, pemimpin Project Zero Harvard University mengumumkan perubahan makna kecerdasan dari pemahaman sebelumnya. Teori Multiple Intelligences yang belakangan ini banyak diikuti oleh psikolog dunia yang berpikiran maju, mulai menyita perhatian masyarakat dunia. Multiple Intelligences pada awalnya berada di ranah psikologi namun kemudian berkembang sampai ke ranah pendidikan, bahkan telah merambah ke ranah dunia professional di organisasi-organisasi bisnis.
a. TES IQ
Alfred Binet, pembuat tes IQ, adalah seorang psikolog yang professional, tetapi dia tidak mampu menolak permintaan penguasa dan birokratis yang tidak professional untuk menghubungkan kecerdasan seseorang dengan eugenic (factor keturunan). Permintaan ini dilatar belakangi oleh fakta sejarah yang terjadi pada 1900-an di Prancis dan Negara Eropa lainnya bahwa peran kaum buruh dalam konstelasi politik domestic meningkat tajam.
Kaum buruh lantang bicara di parlemen tentang hak-haknya sebagai warga Negara. Mereka berpendapat bahwa wakil mereka harus ada di parlemen sebagai suara rakyat. Penguasa dan para bangsawan pada saat itu khawatir jika kekuasaan yang telah mereka nikmati selama bertahun-tahun akan direbut oleh kaum buruh. Padahal, awalnya kaum buruh adalah bawahan, bahkan menjadi budak penguasa. Apalagi pengaruh pemikiran dan propaganda dari tokoh-tokoh buruh pada saat itu: Mussolini di Italia dan Karl Marx di Jerman member semangat kaum buruh untuk memperjuangkan eksistensinya di kancah politik.
Jika diteliti secara mendalam, tes IQ yang diciptakan Binet mengandung konsep eugenic (keturunan). Sebenarnya, hasil test ini ingin menghubungkan factor keturunan dengan factor kecerdasan. Argumentasi yang ingin dikembangkan pada saat itu adalah penguasa atau bangsawan pasti memiliki keturunan anak-anak yang cerdas sebab penguasa dan bangsawan adalah kelompok masyarakat yang cerdas. Sebaliknya, kelompok buruh yang notabene pekerja kasar adalah mereka yang tidak cerdas, dan oleh karena itu pasti akan melahirkan keturunan-keturunan yang bodoh. Hal yang berbahaya bagi Negara jika dipimpin oleh generasi yang bodoh dan tidak cerdas.
Pengelompokan hasil tes IQ menjadi kelompok angka-angka yang statis menunjukkan kenyataan tersebut. Sehingga secara praktis, hasil tes IQ anak-anak masyarakat buruh pada saat itu pada range angka IQ yang rendah.
IQ adalah usia mental seseorang dibagi dengan usia kronologis, lalu dikalikan dengan 100. Rumusnya adalah :
IQ = MA/CA x 100
MA adalah Mental Age dan CA adalah Chronological Age
Jika, usia mental seseorang sama dengan usia kronologis, IQ orang itu adalah 100. Kemudian, angka IQ tersebut dimasukkan ke sebuah daftar yang memuat angka IQ dari banyak orang, lalu dibuat sebuah grafik dan dibandingkan antara angka orang yang satu dengan yang lainnya. Metode perhitungan inilah yang menimbulkan perdebatan dikalangan para ahli. Jika ada sejuta anak yang dites IQ, maka akan menghasilkan angka IQ yang dipaksa masuk range angka anak bodoh, anak normal, anak cerdas, dan anak genius. (Munif Chatib, Sekolahnya Manusia, 2009). (Bersamabung..)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar